Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Lainnya - dibuang sayang

Ngopi dulu ☕

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mari Kenali Gejala dan Bahaya Limfoma

9 Juni 2018   07:00 Diperbarui: 9 Juni 2018   08:12 4110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Inilah salah satu jenis kanker mematikan yang kerap diabaikan. Mari kenali gejala dan bahaya penyakit yang populer disebut kelenjar getah bening ini.

Limfoma merupakan salah satu kanker paling dini yang diketahui oleh manusia.

Penyakit yang ditemukan Dr. Thomas Hodgkin ini memiliki sel-sel kanker yang tumbuh di dalam kelenjar getah bening. Dalam keadaan normal, kelenjar getah bening di seluruh tubuh merupakan salah satu sistem pertahanan untuk menangkal infeksi bakteri, jamur, parasit, dan virus.

Menurut DR. Dr. Hilman Tadjoedin, Sp.PD-KHOM, dari RS Kanker Dharmais, limfoma terbagi menjadi dua jenis, yakni Limfoma Hodgkin (LH) dan Limfoma Non-Hodgkin (LNH).

"Gejala awal keduanya sama, yaitu adanya pembengkakan kelenjar getah bening. Inilah yang kemudian memunculkan istilah kanker getah bening untuk menyebut limfoma," jelas Ketua Himpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia ini.

Bedanya? Limfoma Hodgkin lebih mudah disembuhkan karena karakternya yang tidak seganas Limfoma Non-Hodgkin.

Penjelasan lebih rinci mengenai limfoma diberikan Prof. DR. Dr. Arry H. Reksodiputro, Sp.PD-KHOM, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

"Kanker Limfoma Hodgkin dapat menyerang siapa saja tanpa mengenal usia dan jenis kelamin, namun mayoritas insiden terjadi pada kelompok usia produktif, yakni 15-30 tahun, dan di atas 70 tahun," papar Prof. Arry.

"Limfoma Hodgkin merupakan jenis kanker yang tidak umum dan bersifat agresif, tetapi merupakan salah satu jenis kanker yang dapat diobati," papar Ketua Persatuan Hematologi-Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Indonesia (PERHOMPEDIN) ini lebih lanjut.

Menurut Prof. Arry, data Global Borden Cancer - International Agency for Research Cancer (GLOBOCAN-IARAC) 2012 menyebut limfoma sebagai salah satu dari sepuluh jenis kanker terbanyak di dunia. Kematian akibat limfoma masih sangat tinggi, mencapai setengah dari kasus baru.

Bagaimana di Indonesia? Riset Kesehatan Dasar 2013 memperkirakan lebih dari 14.500 pasien limfoma yang terdeteksi di negara kita.

Gejala limfoma sendiri antara lain demam atau meriang, berkeringat di malam hari, penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas (hingga 10 persen atau lebih), kelelahan dan kekurangan energi, kehilangan nafsu makan, batuk berkepanjangan, serta pembesaran limpa dan atau hati.

Menurut Dr. Hilman, perjalanan penyakit limfoma dapat diketahui dengan melihat beberapa parameter, yakni usia, penampilan pasien, nilai LDH (marker kerusakan jaringan), penyebaran di kelenjar getah bening, dan stadium penyakit.

"Intinya, semakin muda pasien, performanya baik (tidak sakit-sakitan), dan semakin rendah stadiumnya, maka penyakit juga lebih mudah disembuhkan dengan kemungkinan harapan hidup lebih panjang," jelas Dr. Hilman.

Namun, terapi pengobatan pasien limfoma kerap terkendala mahalnya harga obat dan kekurangan efektivitas terapi.

Harapan datang dari pengembangan obat limfoma oleh beberapa perusahaan farmasi ternama, baik lokal maupun internasional, untuk menghasilkan terapi efektif dan lebih mudah dijangkau penderita limfoma di Indonesia.

Menurut DR. Dr. Dody Ranuhardi, Sp.PD-KHOM, Sekretaris Jenderal PERHOMPEDIN, saat ini terdapat beberapa pilihan untuk mengobati Limfoma Hodgkin, yakni kemoterapi, radioterapi, transplantasi sel, dan terapi bertarget (targeted therapy).

Di Indonesia, salah satu inovasi terkini yang tersedia adalah terapi bertarget bernama Antibody-drug Conjugates (ADC). Terapi bertarget dapat membantu mengirimkan agen yang kuat ke sel kanker yang menjadi target, sekaligus meminimalisasi paparan ke sel yang tidak ditargetkan.

Pengobatan yang khusus diciptakan untuk pasien kanker Limfoma Hodgkin dengan kondisi relaps dan/atau refractory ini secara spesifik menargetkan sel yang sakit untuk meningkatkan efektivitas pengobatan dan secara bersamaan, memberikan efek samping yang bisa ditoleransi.

"Limfoma Hodgkin dapat disembuhkan melalui kemoterapi jika terdeteksi dini. Untuk itu, penting untuk tidak meremehkan benjolan pada tubuh, meski ukurannya kecil, seperti kelenjar getah bening yang ditemui di leher, ketiak, dan pangkal paha," ujar Dr. Dody.

Pada Limfoma Hodgkin, kombinasi kemoterapi awal dapat memberikan respons yang bertahan lama. Namun, petugas kesehatan di Indonesia menyatakan sebanyak 20 persen dari pasien tersebut akan mengalami relaps (atau kambuhnya penyakit limfoma) atau refrakter (tidak memberikan respons) terhadap pengobatan awal.

"Prognosis pasien dengan kondisi relaps dan refrakter biasanya lebih buruk dan akan lebih sulit disembuhkan. Namun, dengan perkembangan teknologi dan terapi baru, harapan kesembuhan bagi para pasien dengan kondisi relaps dan refrakter dapat meningkat," kata Dr. Dody.

Dr. Hilman menegaskan bahwa tujuan utama terapi limfoma bukan penyembuhan, melainkan mengendalikan penyakit pasien. Kata kuncinya adalah meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebanyak 73,9 persen pasien Limfoma Non-Hodgkin dapat bertahan hidup sampai 10 tahun.

"Jika ada pasien datang dengan benjolan sangat besar, maka kita akan berusaha menekan benjolan, tetapi mungkin tidak bisa hilang 100 persen. Namun, ini saja sudah sangat berarti. Dengan pengobatan standar, kita berupaya menekan pertumbuhan sel-sel ganas," tandas Dr. Hilman.

"Dengan adanya obat-obatan baru yang lebih menjanjikan, tentu akan semakin meningkatkan kualitas hidup pasien dan memperpanjang harapan hidup pasien," jelas Dr. Hilman.

Tak lupa Prof. Arry mengingatkan bahwa upaya peningkatan kesehatan masyarakat, termasuk pengobatan dan diagnosis kanker, membutuhkan keterlibatan seluruh pihak dan menjadi tanggung jawab bersama.

Menemukan cara baru untuk mendeteksi dan mengobati kanker sedini mungkin merupakan tahap yang paling penting - yang mana tidak dapat terwujud tanpa partisipasi dan kerja sama seluruh komunitas medis.

"Semua pihak seperti peneliti, dokter dan petugas kesehatan lain harus bekerja bersama untuk membangun pengetahuan dan kemajuan agar dapat membawa manfaat bagi para pasien," pungkas Dr. Arry.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun