Satu dekade lalu, para ilmuwan mengkhawatirkan terjadinya kepunahan besar di Bumi. Kini, sejumlah studi mengatakan bencana itu datang lebih cepat dari perkiraan.
Separuh jumlah hewan yang berbagi rumah dengan kita di Bumi tidak lagi hidup di dunia. Para peneliti menyebut kehilangan ini: "erosi keragaman hayati terbesar dalam sejarah Bumi."
Lebih dari 30 persen hewan bertulang belakang - ikan, burung, amfibi, dan manusia - tengah merosot, baik dalam keragaman maupun jumlah populasi. Inilah temuan studi komprehensif pertama mengenai fenomena ini, yang dilaporkan di Proceedings of the National Academy of Sciences.
"Kepunahan biologis ini terjadi secara global," tegas profesor Stanford, Rodolfo Dirzo, salah seorang peneliti studi yang memetakan keragaman dan populasi 27.600 spesies, serta mengungkap data penting tentang besar ancaman terhadap kehidupan di Bumi.
Tampaknya, kemerosotan keragaman hayati telah terakselerasi.
Salah satu fokus studi tersebut adalah 177 mamalia. Setelah menyelami data dari 1900 sampai 2015, tim peneliti menemukan bahwa mamalia telah kehilangan sepertiga habitat asli. Sebanyak 40 persen - termasuk badak, orangutan, gorila, dan macan - kini hidup di lahan sebesar 20 persen atau kurang dari wilayah mereka dulu.
Beberapa spesies mamalia yang masih aman satu dekade lalu - seperti cheetah, singa, dan jerapah - kini terancam. Secara global, kematian massal yang telah terjadi adalah yang terburuk sejak tiga perempat masa kehidupan di Bumi, termasuk dinosaurus non-burung yang punah 66 juta tahun lalu oleh hantaman meteor.
Rata-rata, dua spesies vertebrata punah setiap tahun. Wilayah tropis menjadi saksi jumlah kemerosotan spesies tertinggi. Di Asia Selatan dan Tenggara, mamalia besar telah kehilangan lebih dari empat per lima rentang sejarah mereka.
Bagaimana dengan primata?
Studi berskala besar yang dilaporkan dalam Science Advances mendapati bahwa nyaris dua pertiga spesies primata tengah merosot, dan 60 persen terancam punah.
Setiap spesies kera (gorila, simpanse, bonobo, orangutan, dan 19 spesies gibbon) masuk kategori terancam, begitu pula 87 persen spesies lemur. Spesies lain yang lebih kritis adalah monyet laba-laba berkepala cokelat dari Ekuador dan monyet hitam Sulawesi yang merupakan satwa endemis Indonesia.
"Temuan ini lebih buruk dari perkiraan kami satu dekade lalu," ujar Dr. Anthony B. Rylands, ilmuwan dari Conservation International yang menjadi satu dari 31 pakar primata di dalam tim penelitian tersebut.
Penyebab fenomena menakutkan ini cukup jelas: spesies manusia yang terus berkembang - lebih dari berlipat ganda sejak 1960 menjadi 7,4 miliar - telah makan, memenuhi Bumi, dan mencemari penghuni lain di planet ini.
Ya, sungguh kenyataan pahit bahwa aktivitas manusia turut menghancurkan kehidupan spesies lain. Contohnya, perburuan. Di Afrika Barat, ada kebutuhan besar akan daging primata untuk pasar lokal. Belum lagi perburuan global terhadap macan, gajah, badak, dan hewan besar lain untuk diincar bagian tubuhnya.
Selain itu, pertumbuhan populasi manusia yang sangat cepat menuntut pembukaan lahan untuk pertanian dan tempat tinggal, mengancam hewan liar di wilayah tersebut. Di Amazon, hutan rimba telah beralih menjadi peternakan dan perkebunan kedelai. Di Madagaskar, persawahan mengambil alih area hutan yang merupakan habitat lemur raksasa.
Satu pemicu tampaknya menjadi ancaman kepunahan makhluk hidup terbesar: perubahan iklim.
Studi terbaru yang dilaporkan jurnal Climatic Change meneliti 80.000 spesies tanaman, mamalia, burung, amfibi, dan reptil, dan telah menemukan dampak pemanasan global terhadap keanekaragaman hayati.
Berfokus pada 33 wilayah yang menjadi rumah spesies darat paling kaya dan endemis, seperti Amazon, Madagaskar, Chile, Afrika, Australia, dan Indonesia (khususnya Kalimantan dan Sumatra), studi tersebut menguak bahwa 25-50 persen spesies di wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi berada pada risiko kepunahan.
Salah satunya lahan hutan Miombo yang merupakan Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO untuk keragaman biota. Area seluas 50.000 km persegi yang membentang dari Angola sampai Tanzania ini berisiko kehilangan 90 persen amfibi, 86 persen burung, dan 80 persen mamalia.
"Kepunahan spesies lain menggambarkan kurangnya empati kita terhadap spesies liar telah menjadi teman kita di Bumi sejak dulu," tandas Geraldo Ceballos, ilmuwan di National Autonomous University of Mexico sekaligus salah satu penulis utama studi.
Lenyapnya karnivor atau herbivor level atas bisa berdampak buruk pada rantai makanan bagian bawah dan menghancurkan ekosistem. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa saat ekosistem berada di bawah tekanan, ia bisa berujung pada kehancuran seiring perubahan cepat yang terus berlangsung.
Keragaman hayati akan menderita selama satu abad ke depan, kecuali kita mengerahkan segala upaya. Caranya? Pastikan suhu global tetap berada di posisi minimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H