"Misalnya, peraturan bahwa 30 persen area harus ditumbuhi tanaman. Kalau ini tidak tercapai, maka harus dibuat green wall. Jika tidak, harus dibuat roof garden dan area resapan air dan limpasan air hujan," jelas Budijanto.
Tantangan lain adalah keengganan pemilik bangunan untuk mengeluarkan investasi di muka, misalnya untuk water recycling system atau panel surya. Padahal, investasi tersebut akan kembali dalam waktu tidak terlalu lama, dan biaya operasional gedung setiap bulan bisa dihemat sampai 50 persen.
"Saat suatu bangunan sudah didesain dan bangunan sesuai standar green building, maka sepanjang operasional bangunan tersebut, penghematan energi dan air selalu berlangsung, terutama jika betul-betul komitmen sejak awal," tandas Budijanto.
"Jangan sampai manajemen tidak efektif, sehingga akhirnya bangunan tersebut kembali 'sakit'. Pihak manajemen hendaknya membuat aturan yang mengikat bagi para penghuni bangunan untuk sama-sama menjaganya," Budijanto mengingatkan.
Misalnya, pihak tenant atau penghuni apartemen diberi aturan untuk tidak memakai lampu yang bukan LED. Kemudian, masing-masing unit apartemen diberi meteran listrik sehingga pemakaian listrik bisa terkontrol. Atau, pelihara tanaman penyerap polusi, baik dalam maupun luar ruang.
"Keterbatasan lahan juga bukan merupakan alasan untuk tidak menerapkan prinsip green building. Justru semakin sempit lahan, maka semakin irit penggunaannya, karena semua fasilitas publik ada di satu area," pangkas Budijanto.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI