"Panas suhu Bumi setiap tahun cenderung naik. Akibatnya adalah perubahan iklim seperti yang sudah kita rasakan, dengan musim hujan dan kemarau yang tidak menentu," tandas Budijanto.
"Sejumlah negara terancam kebanjiran, bahkan tenggelam. Sebaliknya, perubahan iklim drastis juga memicu kekeringan dan membuat kebutuhan pangan terganggu, karena pertanian tidak berjalan dengan semestinya," tambahnya.
Kabar baiknya, sejumlah kota di Indonesia sudah mengeluarkan aturan yang mengharuskan pemenuhan persyaratan green building untuk mendapatkan IMB.
Sebagai masyarakat, kita pun bisa berpartisipasi dalam penerapan prinsip bangunan hijau. Contoh, berhemat listrik dan air. Untuk air, misalnya, kita bisa membangun sarana penampung air hujan, atau mengolah air limpasan kamar mandi dan cucian, sehingga penghematan bisa mencapai 70 persen.
Dampaknya? Selain mengurangi beban biaya bulanan untuk listrik dan air, kita juga menurunkan emisi CO2.
 Ini akan mengurangi efek pemanasan global dan pemakaian bahan bakar dari fosil yang akan habis.
Selain itu, properti yang menerapkan prinsip green building sebenarnya memiliki commercial value, karena bangunan hijau juga terkait erat dengan kenyamanan para penggunanya.
Misalnya, bukaan jendela yang memungkinkan ventilasi udara secara alami, memungkinkan pemandangan ke luar gedung dari dalam ruangan, dan mengurangi tingkat kebisingan.
Baik Nirwono maupun Budijanto tak menampik tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan bangunan hijau.
"Kendala dalam penerapan green building ada pada kurangnya dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah, yang semestinya bisa memberi dukungan berupa keringanan pajak dan biaya bangunan" tukas Nirwono.
Budijanto turut mencatat sejumlah tantangan yang dihadapi. Pertama, pengetahuan tentang green building di Indonesia masih kurang. Kedua, kita butuh peraturan tegas, seperti sudah dimulai di Jakarta dan Bandung, untuk mencegah dampak pemanasan global.