Setiap pasangan butuh persiapan matang sebelum melangkah ke pelaminan. Perjanjian pranikah bisa menjadi salah satu persiapan itu. Simak penjelasan konsultan hukum dan psikologi.
Jelang pernikahan, sering kali calon mempelai lebih fokus pada persiapan teknis seperti resepsi, katering, bulan madu, atau tempat tinggal setelah menikah.
Kesiapan mental pun kerap terabaikan. Padahal, banyak hal penting untuk dibahas sebelum membuka lembaran baru, seperti keinginan untuk memiliki anak, pengaturan keuangan, pengasuhan anak, dan masalah keluarga besar.
Irene Raflesia, S.Psi, M.Psi, dari Klinik Pelangi Cibubur, mengingatkan bahwa memasuki pernikahan berarti mempersiapkan diri untuk berkomitmen dan menjalani tanggung jawab sebagai istri dan suami.
"Banyak yang memandang pernikahan sebagai alat untuk mencapai kebahagiaan, sehingga mereka kemudian kaget dan kecewa ketika segala sesuatu berjalan tidak seindah bayangan," ujar Irene.
Karena ada begitu banyak kemungkinan hal buruk yang dapat terjadi dalam berumah tangga, antisipasi pun perlu dibuat. Salah satu caranya adalah dengan menuangkan poin-poin ini ke dalam bentuk perjanjian pranikah.
Menurut Irene, perjanjian pranikah masih dipandang sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap pasangan, atau berarti siap untuk bercerai.
Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena perjanjian pranikah tidak selalu berkaitan dengan pemisahan harta benda, tetapi juga berisi kesepakatan apa pun, seperti pembagian peran dalam mengasuh anak, hak untuk bekerja, melanjutkan pendidikan, atau kematian salah satu pihak.
Ini diamini oleh Kartika Paramita, SH, dari Tumbu Saraswati & Associates. Menurutnya, masih ada yang menganggap perjanjian pranikah sebagai sesuatu yang tabu, seakan-akan pasangan sudah siap-siap bercerai, atau melepas tanggung jawab terhadap nasib pasangannya jika terjadi perpisahan.
Namun, pada dasarnya setiap pihak membutuhkan suatu perlindungan hukum terhadap diri ataupun calon anak. Adanya hak dan kewajiban yang akan timbul selama perkawinan berlangsung.
"Perjanjian pranikah sebaiknya dipandang dari segi positif dalam melindungi hak dan kewajiban kedua pasangan yang akan timbul selama perkawinan berlangsung. Dibuat berdasarkan kerelaan dan keterbukaan, bukan keegoisan dan melepaskan tanggung jawab dalam berumah tangga," papar Kartika.