Jika ditanyakan apakah menggunakan baju baru di Hari Raya IdulFitri suatu keharusan atau tidak, maka kita harus melihat dulu makna dan filosofinya.
Tentunya sebelum merayakan hari kemenangan itu, umat Muslim diharuskan menjalani kewajibannya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Di bulan penuh Rahmat ini mereka yang berpuasa tidak makan, tidak minum selama 13 jam.
Selain itu mereka juga diwajibkan untuk menahan nafsu amarah yang buruk, bermakna mendekatkan diri kepada Illahi.
Nah, setelah melewati ujian itu, maka tibalah hari kemenangan, hari takbir.
Dimana umat suci kembali, bersih lagi seperti seorang bayi yang baru dilahirkan dari seorang ibu. Tidak bernoda dan berdosa.
Sesuai dengan kata "fitri" dari IdulFitri yang berarti bersih.
Dengan mengenakan pakaian baru maka umat menjadi baru lagi, lepas dari yang lalu yang penuh dosa dan kesalahan.
Ya, berpakaian baru.
Sejak kapankah tradisi menggunakan pakaian baru untuk Hari Raya itu dimulai pada awalnya.
Ternyata sudah ada sejak zaman penjajahan Hindia-Belanda pada abad ke-20.
Seperti apa yang dikatakan oleh Snouck Hurgronje, penasehat urusan pribumi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dalam bukunya yang berjudul "Nasehat-nasehat Snouck Hurgronje di masa pemerintahan 1889-1939".
Di situ dituliskan pada bulan kesepuluh rakyat menggeliat membuat atau membeli pakaian baru untuk Hari Raya IdulFitri. Terutama kalangan priyayi dan bangsawan.
"Kebiasaan saling bertamu dan mengenakan pakaian baru di bulan kesepuluh ini mengingatkan kita kepada perayaan Tahun Baru Eropa," kata Hurgronje.
Bulan kesepuluh yang disebutkan oleh Hurgronje itu bukannya bulan Oktober dalam tahun Masehi.
Namun bulan Syawal dalam kalender Hijriyah.
Ya, dalam kalender Hijriyah, Syawal merupakan bulan kesepuluh. Sedangkan Ramadhan merupakan kesembilan.
Lebih lanjut Hurgronje menyebutkan mereka yang membeli atau membuat baju baru untuk IdulFitri itu mayoritas berada di Batavia (Jakarta sekarang).
"Mereka membeli makanan, pakaian, dan petasan di Hari Raya," dalam laporannya, 20 April 1904.
Kelanjutannya, pembelian baju baru untuk IdulFitri oleh para petinggi pada waktu itu seperti pamong praja dan bupati dikritik oleh beberapa pihak orang-orang Belanda karena menggunakan dana pemerintah.
Sedangkan untuk model serta corak yang digunakan pada saat itu dengan model Eropa, Islam, atau Indonesia sendiri.
Orang-orang Belanda juga menyaksikan ketidakadilan lainnya dimana para petinggi pribumi itu mengenakan pakaian mewah pada jamannya, sedangkan rakyat jelata sangat sederhana dan seadanya, bahkan pakaian bekas.
"Yang menggunakan model Eropa adalah mereka yang dekat dengan Belanda," tulis Kees van Dijk dalam salah satu bukunya.
Jika pada masa-masa seperti itu, baju baru merupakan sesuatu yang mewah bagi rakyat jelata.
Maka setelah masa kemerdekaan, Indonesia mulai melakukan pembangunan di segala bidang dan terus memakmurkan rakyatnya.
Mulai dari membangun ekonomi, salah satunya mendirikan pabrik tekstil, garmen, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pakaian ini.
Kemakmuran pun semakin sejahtera, kini pakaian baru sudah bisa dijangkau oleh rakyat jelata. Cuma tinggal beberapa gelintir saja mereka yang sangat miskin sehingga tidak dapat membeli pakaian baru untuk Hari Raya.
Toh, mereka yang berlebihan dan punya pakaian bekas yang layak pakai bisa menyumbangkan sesuatu yang berguna itu untuk mereka yang sangat membutuhkannya.
Saya yakin membeli pakaian baru sudah menjadi prioritas utama dalam anggaran Lebaran yang Anda susun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H