Seperti apa yang dikatakan oleh Snouck Hurgronje, penasehat urusan pribumi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dalam bukunya yang berjudul "Nasehat-nasehat Snouck Hurgronje di masa pemerintahan 1889-1939".
Di situ dituliskan pada bulan kesepuluh rakyat menggeliat membuat atau membeli pakaian baru untuk Hari Raya IdulFitri. Terutama kalangan priyayi dan bangsawan.
"Kebiasaan saling bertamu dan mengenakan pakaian baru di bulan kesepuluh ini mengingatkan kita kepada perayaan Tahun Baru Eropa," kata Hurgronje.
Bulan kesepuluh yang disebutkan oleh Hurgronje itu bukannya bulan Oktober dalam tahun Masehi.
Namun bulan Syawal dalam kalender Hijriyah.
Ya, dalam kalender Hijriyah, Syawal merupakan bulan kesepuluh. Sedangkan Ramadhan merupakan kesembilan.
Lebih lanjut Hurgronje menyebutkan mereka yang membeli atau membuat baju baru untuk IdulFitri itu mayoritas berada di Batavia (Jakarta sekarang).
"Mereka membeli makanan, pakaian, dan petasan di Hari Raya," dalam laporannya, 20 April 1904.
Kelanjutannya, pembelian baju baru untuk IdulFitri oleh para petinggi pada waktu itu seperti pamong praja dan bupati dikritik oleh beberapa pihak orang-orang Belanda karena menggunakan dana pemerintah.
Sedangkan untuk model serta corak yang digunakan pada saat itu dengan model Eropa, Islam, atau Indonesia sendiri.
Orang-orang Belanda juga menyaksikan ketidakadilan lainnya dimana para petinggi pribumi itu mengenakan pakaian mewah pada jamannya, sedangkan rakyat jelata sangat sederhana dan seadanya, bahkan pakaian bekas.