Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... Akuntan - Apapun yang terjadi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mulai hari dengan bersemangat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asal-usul Istilah Parahyangan Muncul, Gara-gara Prabu Siliwangi Menolak Memeluk Islam?

9 November 2022   11:07 Diperbarui: 9 November 2022   11:30 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabu Siliwangi (okezone.com)


Wilayah Sunda di Jawa Barat sering juga disebut dengan Parahyangan. Atau karena sulit melafalkannya, disebut juga dengan Priangan.

Mengapa dan bagaimana asal-usul nya wilayah Sunda di Jawa Barat ini disebut juga dengan Parahyangan atau Priangan?

Pertama kali saya mendengar kata Priangan ini adalah di masa kecil saya di Sukabumi.

Di kota dingin tersebut ada sebuah penganan yang khas dan tradisional namanya "Roti Priangan".

Hingga kini Roti Priangan sudah menjadi salah satu makanan khas oleh-oleh dari Sukabumi, dibuatnya pun masih secara tradisional.

Harganya cukup bersahabat Rp 6.000 untuk sepotong roti dan Rp 10.000 untuk Roti Tawar.

Jika Anda secara kebetulan ke Sukabumi jangan lewatkan mencicipi Roti ini.

Saya juga belum sadar bahwa "Priangan" itu adalah sebutan lain dari "Parahyangan".

Sekarang di Jawa Barat banyak tempat yang menggunakan nama Parahyangan.

 Misalnya perumahan Parahyangan Indah, atau Universitas Parahyangan Bandung, dan sebagainya.

Namun tahukah Anda mengapa wilayah ini disebut dengan Parahyangan?

Dilansir dari wartawan senior sekaligus sejarawan Alwi Shahab, istilah Parahyangan ini berasal dari masa kerajaan Pajajaran dengan rajanya yang paling legendaris, Prabu Siliwangi.

Kondisi tersebut ada hubungannya dengan sejarah masuknya Islam di Batavia (Jakarta sekarang).

Budayawan Betawi Ridwan Saidi menyebutkan tahun 1412 Masehi sebagai tahun mulai masuknya Islam di Batavia.

Seorang ulama dari Campa (Kamboja) pada waktu itu tiba di Batavia dan mendirikan sebuah pesantren di Tanjung Puro, Karawang.

Di pesantren itu ada seorang santri yang bernama Nyai Subang Larang.

Prabu Siliwangi lantas jatuh hati kepada Nyai Subang Larang dan Nyai Subang Larang dijadikannya istri.

Prabu Siliwangi menolak ajakan para ulama pada saat itu untuk memeluk ajaran Islam.

Bahkan Kian Santang, anak hasil pernikahan Siliwangi dengan Subang Larang, yang mengikuti ibunya beragama Islam, pun mengajak ayahnya untuk masuk Islam. 

Namun Siliwangi menolak, dan tetap pada kepercayaannya yaitu Hindu.

Bukan hanya memeluk agama Islam, Raden Kian Santang bahkan ketika dewasa menjadi seorang ulama dan menyebarkan agama Islam di wilayah Batavia.

Memang, Raden Kian Santang lah yang dinilai paling berjasa dalam menyebarkan agama Islam ini di Jakarta.

Banyak orang dengan senang hati menerima ajaran yang diberikan Kian Santang.

Setelah semakin banyaknya mereka yang masuk Islam (pada abad 15 dan 16) Siliwangi tetap menolaknya, Prabu Siliwangi lantas ngahyang.

Itulah cikal bakal munculnya istilah Parahyangan seperti yang kita kenal saat ini.

Berasal dari kata hyang yang berarti dewa atau para leluhur. Dan "pa" yang berarti tempat. Dan "an" yang bermakna benda.

Jadi Parahyangan adalah tempat, wilayah, atau pegunungan tempat bersemayamnya dewa atau para leluhur.

Namun Ridwan Saidi sendiri masih meragukan apakah Prabu Siliwangi benar-benar menolak masuk Islam dan masih tetap Hindu?

Langgar

Kendati Raden Kian Santang berasal dari Sunda namun dia mendapatkan tempat di hati para penduduk Jakarta.

Mereka yang masuk Islam itu lantas disebut melakukan pelanggaran karena berpindah agama. Mereka disebut kaum pelanggar.

Mereka kemudian sering berkumpul di sebuah tempat semacam mesjid.

Tempat berkumpul itu lantas disebut dengan langgar.

Itulah cikal bakal mesjid atau musholla sampai saat ini ada juga yang menyebutkan nya dengan Langgar.

"Sayup-sayup dari kejauhan di arah utara terdengar suara orang mengaji dari sebuah langgar,".

Demikian salah satu kalimat yang sering kita dengar ketika membaca sebuah buku cerita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun