Hal tersebut lantaran karena gundik hanyalah isteri sampingan, atau bukan isteri sebenarnya yang "asli" yaitu permaisuri.
Namun hal itu, tidak menyebabkan anak raja (lelaki) yang berasal dari gundik nya tidak mempunyai warisan sebagai pengganti kedudukan raja nantinya setelah meninggal.
Kalau Anda sering membaca, maka kerap kita jumpai kalimat jika yang naik menjadi raja menggantikan ayahnya adalah anak (lelaki) dari seorang gundik.
Dalam regulasi adat Jawa anak laki-laki yang bisa menjadi raja. Perempuan tidak.
Barangkali ini yang kita kenal sebagai diskriminasi terhadap kaum hawa. Hak kaum wanita dibedakan dengan prianya.
Namun tak pelak, para wanita yang dijadikan selir oleh sang raja itu merasa bangga dapat mendampingi sang penguasa saat beristirahat atau menghibur kala duka lara.
Dengan menjadi selir, maka selain bangga, kaum wanita juga dijamin kehidupannya, mendapatkan harta yang banyak mengingat kekayaan sang penguasa.
Raden Wijaya yang dikenal sebagai pendiri sekaligus raja pertama (1293-1309 Masehi) dari kerajaan legendaris Majapahit menurut babad Nagarakartagama, dia memperistri empat orang, putri dari Kertanegara, raja pamungkas Kerajaan Singasari.
Sedangkan menurut babad Pararaton, Raden Wijaya menikah hanya dengan dua orang putri dari Kertanegara, dan memiliki seorang putra yang bernama Jayanagara.
Sedangkan dari gundiknya, Raden Wijaya mempunyai dua orang putri.
Dalam babad Jawa dikatakan bahwa seorang laki-laki itu baru lengkap jika sudah mempunyai benggol dan bonggol.