Terus terang membaca sebuah artikel di detik.com yang berjudul "Nyai Saritem Antara Pengasihan dan Mengasihi" tanggal edar Sabtu (24/9/2022) muncul rasa kaget di hati.Â
Ternyata ada hubungannya antara Nyai Saritem yang menjadi pokok artikel tersebut dengan nama jalan yang memang dikenal saya.
Ketika bermukim di kota kembang Bandung, dari teman-teman saya diperkenalkan suatu nama jalan yang bernama Saritem.
"Ke Saritem yuk," kata salah seorang teman.
Entah agak bercanda atau serius, dia mengajak saya ke Saritem, sebuah nama jalan di Bandung, ibukota Jawa Barat, yang pada saat itu dikenal sebagai lokasi prostitusi, Jalan Saritem.
Sebenarnya saya malas untuk membaca keseluruhan artikel, namun pada akhirnya diketahui jika Saritem ini adalah nama seorang wanita cantik putri dari seorang bangsawan asal Sumedang.
Karena dari keluarga yang terpandang tak heran jika Nyai Saritem yang memiliki nama asli Nyi Mas Ayu Permata Sari itu hidupnya seperti burung dalam sangkar emas.
Hidup terkungkung seperti Nyai Saritem pada saat itu memang sudah lazim bagi anak-anak keluarga seorang yang terpandang.
Raden Ajeng Kartini pun, putri seorang Bupati di Jepara, Jawa Tengah, layaknya seperti burung dalam sangkar emas.
Aan Merdeka Permana dalam tulisannya yang berjudul "Saritem" mengisahkan Nyi Saritem kerap bepergian dengan keluarganya ke tempat pengasihan di Marongge, wilayah perbatasan antara Sumedang dengan Majalengka.
Namun di tempat itu Nyi Saritem tidak minta untuk mendatangkan birahi namun sekedar saling menyayangi.
Selain itu Nyi Saritem bersama keluarganya juga sering berziarah ke wilayah Pananjung yang dipercaya pusat kerajaan sekaligus tempat petilasan Dewi Rengganis.
Ketika tinggal di Bandung selain Saritem, saya juga mengenal wilayah atau nama jalan Rengganis ini sebagai kawasan kos mahasiswa.
Nyi Saritem nampaknya ingin lepas dari sangkar emas karena hidupnya merasa terkungkung, sang putri ingin mengembara ke suatu wilayah yang pada saat ini secara geografis masuk ke daerah Bandung dengan suatu tujuan tertentu.
Semula keinginan sang putri mendapatkan larangan dari keluarganya karena tidak layak pada saat itu seorang perempuan mengembara. Keluarganya bahkan menginginkan Nyi Mas Ayu Permata Sari menikah dulu.
Namun pada akhirnya keluarganya mengijinkan dengan syarat Nyi Mas didampingi seorang kusir bernama Ki Usdi.
Karena keluarga bangsawan, Nyai Saritem pun mulai melakukan perjalanan ke wilayah Bandung dari Sumedang dengan menggunakan delman yang ditarik dua kuda.
Delman pada saat itu merupakan suatu kemewahan dimana hanya kalangan tertentu saja yang menaikinya.
Ketika beristirahat di beberapa pos dalam perjalanan itu, orang-orang yang melihat di sepanjang perjalanan itu mencurigai Ki Usdi akan menuju ke sebuah tempat jual-beli perempuan untuk memperdagangkan Nyai Saritem.
Melihat hal tersebut, Nyai Saritem penasaran dan menanyakan kepada Ki Usdi dimana lokasi tempat jual-beli perempuan itu dan minta Ki Usdi supaya membawanya ke tempat itu.
Seperti syair dari lagu Sabda Alam yang syairnya menceritakan bahwa wanita itu dijajah pria, dijadikan perhiasan sangkar madu, prostitusi juga sudah berkembang sejak dulu.
Demikian pula lokasi jual-beli perempuan seperti yang disebutkan di atas sudah ada sejak jaman Hindia-Belanda dan baru ditutup tahun 2007 yang lalu.
Saritem diabadikan sebagai nama jalan sebagai penghargaan atas jasa-jasa Nyai kelahiran "kota tahu" Sumedang tahun 1840 dan meninggal di Bandung tahun 1920 itu atas jasa-jasanya.
Sejumlah budayawan yakin foto wanita cantik yang beredar di internet itu sebagai rupa asli dari Nyai Saritem.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H