Lomba makan kerupuk (suara.com)
Kini, di setiap perayaan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI, masyarakat meramaikan euforia dengan berbagai lomba khas wong cilik.
Di antaranya adalah panjat pinang, balap karung, tarik tambang, atau makan kerupuk.
Sejumlah orang berlomba-lomba makan kerupuk yang digantung.Â
Siapa yang paling cepat menghabiskan kerupuk itu, maka dialah pemenangnya.
Mengapa, dan sejak kapan lomba makan kerupuk itu selalu hadir dalam euforia HUT Proklamasi RI?
Fadly Rahman, sejarawan sekaligus dosen Departemen Sejarah UNPAD Bandung mengatakan lomba makan kerupuk untuk memeriahkan 17-an itu mulai ada sejak tahun 1950-an.
Mengapa demikian?
Penulis buku "Jejak Rasa Nusantara" itu mengatakan sejak Dwitunggal Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 kondisi Indonesia pada saat masih belum kondusif.
Masih banyak ancaman yang mengganggu kedaulatan, di antaranya Belanda yang yang melakukan agresi kedua untuk merebut kembali negeri Pertiwi.
Atau pemberontakan dan perang saudara yang marak terjadi di tanah air khususnya kurun lima tahun sejak kemerdekaan.
Memasuki tahun 1950-an Presiden Soekarno dan pemerintahannya mulai dapat mengatasi kondisi seperti itu sedikit demi sedikit.
Dengan masih banyaknya peperangan untuk mempertahankan kemerdekaan atau perang saudara yang marak terjadi itu masyarakat Indonesia tidak sempat untuk merayakan HUT RI nya.
Namun sejak tahun 1950-an mulai terlihat masyarakat merayakan kegembiraan itu dengan menggelar berbagai lomba.
Presiden Soekarno pada saat itu mendukung kegembiraan mereka sebagai hiburan.
Lomba makan kerupuk merupakan perlombaan yang pertama yang digelar dan disukai rakyat, selain lomba-lomba lainnya seperti panjat pinang atau tarik tambang.
Hal tersebut lantaran kerupuk identik dengan rakyat kecil atau makanan rakyat karena harganya yang relatif terjangkau dalam kondisi pada saat itu.
Di jaman peperangan tentu saja kondisi itu sangat berpengaruh juga terhadap perekonomian rakyat. Banyak rakyat yang miskin. Mereka hanya makan nasi dengan kerupuk atau garam sebagai lauknya.
"Dengan lauknya kerupuk, garam, atau kecap pun rakyat pada saat itu sudah bisa bertahan hidup," kata Fadly.
Jadi lomba makan kerupuk itu sekaligus juga mengingatkan bahwa rakyat dulunya makan kerupuk di masa kesusahan akibat peperangan. Sebuah keprihatinan.
Kerupuk yang diperlombakan di perayaan HUT Proklamasi biasanya adalah kerupuk putih yang terbuat dari aci (bahasa Sunda, artinya tapioka).
Dalam bukunya, Fadly mengatakan kerupuk sudah ada di Indonesia sejak abad ke 10 Masehi. Hal tersebut ada tercantum dalam naskah Jawa kuno.
Dengan demikian, kerupuk memang sudah dikonsumsi oleh masyarakat jadul (jaman dulu) pada saat itu sebagai lauk.
Kerupuk kulit atau biasa juga disebut kerupuk rambak bahkan sudah lebih lama usianya ketimbang dengan kerupuk aci yang diperlombakan di HUT RI tersebut.
Kerupuk rambak adalah kerupuk yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi. Ada juga dari kulit ular dan kulit hewan lainnya.
Dengan maksud untuk dimakan sebagai makanan utama pada masa penjajahan kolonial Belanda, sejak abad ke 19 di Jawa mulai banyak ditanam tanaman singkong.
Seiring dengan itu pulalah, kerupuk aci mulai diproduksi. Rakyat mengonsumsi kerupuk aci itu sebagai makanan pendamping.
Ya, selain singkong bisa direbus atau digoreng, mereka juga bisa dibuat sebagai bahan pembuatan kerupuk aci.
Makanan dari daging pada saat itu sangat jarang ditemui dan kalau pun ada harganya sangat mahal yang tidak bisa dijangkau rakyat kecil.
Fadly juga menambahkan kerupuk rambak itu dikonsumsi oleh orang-orang Belanda dan kaum priyayi. Sedangkan rakyat kecil makan kerupuk aci.
Sekarang makan kerupuk itu sudah menjadi hal yang biasa, kalau dulu simbol keprihatinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H