Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... Akuntan - Apapun yang terjadi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mulai hari dengan bersemangat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Candi Borobudur, Rp 750.000, Negarakertagama, dan Pernah Ditinggalkan

9 Juni 2022   10:05 Diperbarui: 9 Juni 2022   11:40 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi Borobudur (Liputan6.com)


Wacana akan diterapkannya tiket untuk naik Candi Borobudur menjadi Rp 750.000 bagi wisatawan Nusantara mengundang kecaman dari berbagai pihak.

Mayoritas tidak setuju lantaran tiket sebesar itu dinilai terlalu tinggi. Jika pun ada sekian persen yang setuju, mereka tentunya beranggapan tarif selangit itu dimaksudkan demi untuk menjaga kelestarian Karya Agung itu dari kelapukan.

Bayangkan jika sekian banyak wisatawan yang naik, mereka berpotensi memberatkan bangunan, merusak batu dan melakukan vandalisme.

Sayang kalau salah satu keajaiban dunia itu sampai tergerus dan tak terpelihara.

Tak terbayangkan bagaimana Borobudur yang merupakan candi Buddha terbesar di dunia itu sampai bisa terbangun demikian megahnya pada abad ke 8.

Candi Borobudur dibangun di masa pemerintahan Wangsa Syailendra di sekitar tahun 800-an. 

Pada saat itu belum ada teknologi seperti sekarang ini untuk membuat batu, patung Buddha, stupa, ukiran, dan sebagainya. Bagaimana membuatnya?

Sejak ditemukan oleh Sir Thomas Raffles pada tahun 1814 Candi Borobudur menjadi salah satu bangunan yang paling banyak menyimpan misteri di latar belakangnya.

Sir Thomas Stamford Raffles lah konon yang pertama kali menyebutkan nama Borobudur untuk candi Buddha terbesar di dunia dalam bukunya yang berjudul "History of Java".

Konon hanya ada satu naskah Jawa Kuno yang mengindikasikan adanya candi megah itu yaitu karya Mpu Prapanca pada tahun 1365, naskah Negara Kertagama.

Raffles menyebutkan candi itu "Borobudur", kemungkinan berasal dari nama desa dimana candi Borobudur berada yaitu desa Boro.

Orang Inggris itu menduga jika kata Budur itu untuk menyebutkan Buddha dalam aksen penduduk sekitar.

Namun para arkeolog berpendapat kata Budur itu berasal dari kata budhara yang artinya gunung. Yang mana di sekitar candi Borobudur itu memang berpanorama gunung yang indah.

Tak kalah misteriusnya tentang kondisi di sekitar Candi Borobudur ini. 

Para arkeolog menemukan dalam penelitiannya bahwa kondisi di sekeliling Candi Borobudur itu adalah berupa danau atau Danau Purba.

Oleh karena banyaknya bencana alam yang terjadi di sekitar Danau Purba itu ditambah lagi dengan letusan gunung berapi, maka Raja Medang Mpu Sendok memindahkan ibukota pemerintahan yang didirikan oleh Syailendra itu dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Semula ada yang menduga alasan pemindahan itu karena adanya perluasan wilayah kerajaan atau sikap politik pada waktu itu.

Para arkeolog menemukan berdasarkan sejumlah penelitian perpindahan itu dikarenakan adanya sejumlah bencana alam yang mengganggu.

Seperti banjir, longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi.

Dengan sendirinya candi megah itu pun ditinggalkan para penguasa "sendirian".

Belum lagi Danau Purba di sekeliling Candi Borobudur sangat berpotensi mengakibatkan gerakan sesar.

Polemik terjadi setelah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan menerapkan tiket Rp 750.000 per orang untuk wisatawan Nusantara dan $100 per orang untuk wisatawan mancanegara yang naik ke Candi Borobudur.

Hal tersebut dimaksudkan untuk membatasi jumlah pengunjung per harinya sebesar 1.200 orang untuk memaksimalkan keaslian stupa dan batu dari kerusakan dan pelapukan.

Namun PT WTC (Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko) yang mengelola warisan UNESCO itu meluruskan bahwa tarif seperti yang disebutkan Luhut hanya untuk mereka yang naik.

Sedangkan tarif masuk ke ke pelataran (tidak sampai naik) ditetapkan Rp 50.000 per orang.

Memang berat tarif sebesar itu, apakah Borobudur hanya bisa dinikmati oleh orang-orang berduit saja? Bagi mereka uang sebesar itu tidak ada artinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun