Pandemi Covid-19 yang sudah terjadi dalam dua edisi Lebaran ternyata semakin menumpuk kerinduan pulang kampung atau homesick.
Sudah menjadi tradisi dan "ajang pamer kesuksesan" di kota setiap kali pulang kampung ke desa maka itu "memacetkan" lalulintas kendaraan terutama di jalur darat.
Bagi saya pribadi tak masalah mereka pulang dengan membawa serta harta kekayaan mereka bahwa mereka telah sukses di rantau orang.
Justru saya sangat suka mereka "pamer kesuksesan". Bukan hanya mereka yang sudah sukses dan pulang kampung dengan mobil mewah atau naik pesawat yang tentunya ongkosnya mahal, para pegawai yang mendapatkan THR pun bisa unjuk gigi bahwa mereka membawa kabar gembira bagi sanak saudara nya di kampung.
"Ngobrol asyik" pun menjadi momen yang indah dan menjadi kenangan di setiap reuni dengan sanak keluarga atau kerabat di kampung.
Mereka mengisahkan cerita kesuksesan mereka selama di kota, bangga bahwa mereka menjadi orang terpandang.
Pernyataan seperti ini kerap muncul ketika kumpul-kumpul di kampung halaman. "Udah punya pasangan belum? Kapan nikah?".
Mereka yang membawa uang besar ke kampung saat mudik Lebaran mereka juga membagikan rejekinya itu kepada anak-anak, orangtua, atau kepada siapa saja sebagai "salam tempel".
Tidak ada salahnya mereka yang sukses menjadikan momen pulang kampung sebagai ajang pamer kesuksesan di kota.
Musni Umar, Wakil Rektor 1 Universitas Ibnu Chaldun Jakarta mengatakan ada niat lain seseorang yang sudah sukses di kota untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga nya di kampung.
"Ada yang ingin bernostalgia dengan masa kecilnya dulu yang pernah terjadi. Kendati motif mereka mudik itu untuk bersilaturahmi dengan keluarga nya," kata Musni.
Senada dengan pendapat saya, membawa uang banyak dan kesuksesan di kota ke desa itu memiliki dampak positif.
Hal itu menyebabkan perputaran uang di desa menjadi menggeliat. Ya, menguntungkan dari aspek ekonomi. Mereka yang pulang kampung membawa uang.
"Mereka berbelanja, menginap di hotel, atau pelesir. Berdampak positif kepada perekonomian di desa," kata Musni.
Dampak positif lainnya dari "orang-orang kota" itu memberikan motivasi kepada orang-orang desa untuk berniat sukses seperti mereka. Mereka bisa berhasil di kota karena berjuang mengadu nasib.
Sementara itu, psikolog Roslina Verauli, M.Psi berpendapat "social climber" seperti yang dimaksudkan atau ajang pamer itu adalah upaya seseorang yang sudah sukses di kota untuk mendapatkan pengakuan status sosialnya yang tinggi.
Seseorang yang sukses di kota identik juga dengan status sosialnya yang tinggi. Dan status sosialnya itu yang menjadi kebanggaan mereka.
"Itulah kebanggaan buat mereka," kata Verauli.
Verauli menambahkan mereka yang gaya hidupnya cenderung glamor dan selalu ingin terlihat mewah itu dikarenakan mereka memusatkan perhatiannya kepada "harta". Dan bila "harta" yang diinginkannya itu diperoleh serta mendapatkan pengakuan status sosialnya yang tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H