Liem Swie King, pemain bulutangkis legendaris asal Indonesia baru saja berulang tahun yang ke 66 dua hari lalu.
Ya, Liem Swie King adalah pemain legendaris bulutangkis dunia kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 28 Pebruari 1956.
Selain Rudy Hartono, Christian/Ade Chandra, atau Tjuntjun/Johan Wahyudi, Liem Swie King menjadi salah satu tonggak perjalanan sejarah yang penting di All England.
Jika Rudy Hartono masuk Guinness World of Book Records sebagai juara All England sebanyak 8 kali, Liem Swie King juga menjuarai turnamen bergengsi itu, sebanyak tiga kali yaitu tahun 1978, 1979, dan 1981.
Namun Liem Swie King memiliki keterpikatan tersendiri di kalangan pecinta bulutangkis dunia.
Pada waktu itu terkenal istilah "King Smash".
Ini adalah smes Liem Swie King yang sangat dikagumi.
Dengan gerakan yang cepat, berani, dan agresif, King meloncat dengan menghujam kan pukulan smes yang tajam, vertikal, dan penuh tenaga yang sangat dahsyat yang menjadi momok bagi lawan-lawannya karena mematikan dan sangat sulit untuk dikembalikan.
Ketika Liem Swie menjuarai All England tahun 1978, pukulan smes pemuda asal Kudus itu menjadi pembicaraan dunia.
Hal tersebut juga dituliskan dalam buku karya Jimmy S Hariyanto yang berjudul "Panggil Aku King" terbitan tahun 2009.
The King's Smash itu bahkan dijadikan rekaman video oleh kubu Cina. Sebuah pukulan smes sambil meloncat dengan kok nya yang menghujam tajam ke arah lawan.
Selain di turnamen klasik itu, Liem Swie King juga mengoleksi sejumlah gelar lainnya dari berbagai turnamen dan beregu.
Di antaranya juara Malaysia Open 1983, Indonesia Open 1983, Kejuaraan Dunia 1979, medali emas Asian Games Bangkok 1978, dan lain-lain.
Dan tentunya di beregu Piala Thomas. Sebanyak enam kali.
Dalam usianya yang ke 20, Liem Swie King menjadi buah bibir ketika dia tampil di final berhadapan dengan rekan senegaranya sendiri Rudy Hartono. All England 1976.
Selain tiga kali juara, Liem Swie King juga menjadi runner-up empat kali turnamen klasik bergengsi tersebut.
King kecil mulai berkiprah di dunia bulutangkis dengan masuk Klub Djarum di kota kelahirannya. Disinilah kemampuannya bermain tepak bulu semakin terasah.
Selain dirinya, PB Djarum ini juga menghasilkan para pebulutangkis elit lainnya.
King mulai dipanggil ke pelatnas usai dirinya menjuarai PON (Pekan Olahraga Nasional) pada usia 17 tahun.
Seusai gantung raket pada tahun 1988 (32 tahun). Setahun setelah itu King boleh dikatakan menganggur, tidak punya pekerjaan apa-apa dimana keahliannya hanya bermain bulutangkis.
Setelahnya King mulai mengelola sebuah hotel milik mertuanya di Jalan Melawai Jakarta Selatan.
Ada momen tersendiri yang sulit dilupakan pada final All England 1978.
Rudy Hartono pada saat itu baru saja mengukir rekor juara yang ke 8 kalinya.Â
Di final 1978 Liem Swie King bertemu dengan Rudy Hartono. Jika saja Rudy Hartono menenangkan laga All Indonesian Final ini maka Rudy akan mencatat 9 kali juara.
Tapi justru "adiknya" sendiri, Liem Swie King, yang menenangkan laga itu dengan skor 15-10 dan 15-3.
Ada apa koq, Rudy Hartono sampai bisa kalah oleh "adiknya"?
Majalah Tempo edisi Maret 1978 membuat sebuah artikel yang berjudul "Rudy Kalah, Tapi Menang Untuk Promosi".
"Saya dikasih menang oleh Rudy. Ketika mulai saya cemas untuk menang. Fifty-Fifty. Anda tahu Rudy pemain yang ulet dan matang," kata Liem Swie King.
Lantas apa kata Rudy sendiri?
"Siapa bilang. King sudah main baik sekali, dia pantas untuk menang," kata Rudy.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H