Sejatinya Presiden Soeharto pada waktu itu sangat memanjakan penduduk Timor Leste. Dan itu dibuktikan dengan digelarnya pembangunan berbagai macam fasilitas, seperti sekolah, kantor-kantor, atau Bandara Komoro yang terkenal.
Bahkan dibangunnya Patung Kristus Raja juga adalah sebagai hadiah bagi rakyat Timor Timur untuk menyenangkan mereka.
Namun apa daya, dua tahun kemudian muncul peristiwa yang tak terduga di Jakarta. Penguasa Orde Baru itu terpaksa lengser dari jabatannya pada tahun 1998 akibat dari desakan mahasiswa yang tidak menginginkannya.
Tak pelak turunnya Soeharto setelah 32 tahun berkuasa, mempengaruhi juga situasi politik di Timor Timur.
Setahun kemudian, tepatnya pada 30 Agustus 1999 digelar referendum yang disponsori PBB dan menghasilkan mayoritas penduduk Timor Timur ingin berdiri sendiri, lepas dari NKRI.
Dalam sejarahnya, beberapa hari setelah Fretilin menyatakan kemerdekaan mereka dari Portugis yang sudah menjajah mereka, Indonesia menginjakkan kakinya di Timor Timur dengan maksud invasi pada Desember 1975.
Konon pada awalnya Soeharto tidak mempunyai keinginan untuk menjadikan Timor Timur sebagai bagian dari NKRI, namun atas usulan sejumlah intelijen, terutama dari Mayjen Ali Murtopo, membuat Soeharto kudu berpikir ulang.
Salah satu alasannya, karena kelompok Fretilin itu berideologi komunisme yang menimbulkan kecemasan bagi Indonesia.
Semenjak itu pergolakan untuk melakukan perlawanan terhadap pendudukan Indonesia terus gencar digelar. Banyak korban juga dari penduduk.
Karena Timor Timur baru saja ditinggalkan oleh penjajahnya, oleh karenanya dengan alasan rakyat Timor Timur "masih penuh luka" maka kucuran dana dari Jakarta pun deras mengalir untuk membangun warisan porak poranda yang ditinggalkan Portugis.
Bahkan Soeharto pernah menaikkan anggaran APBN untuk lebih lagi meningkatkan kesejahteraan rakyat Timor Timur.