Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... Akuntan - Apapun yang terjadi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mulai hari dengan bersemangat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Suku Sunda Tidak Boleh Menikah dengan Suku Jawa, Ini Kata Raja Yogya Sri Sultan Hamengku Buwono X

1 September 2021   11:06 Diperbarui: 1 September 2021   11:41 3909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raja Yogya Sri Sultan Hamengku Buwono X (krjogja.com)


"Ini merupakan salah satu dari propaganda politik devide et impera," kata Sri Sultan Hamengku Buwono X pekan lalu dalam sebuah webinar yang digelar oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Raja Yogya itu angkat bicara tentang adanya mitos orang Jawa dan orang Sunda dilarang menikah.

Menurut Sri Sultan hal itu hanyalah propaganda Belanda untuk menggagalkan Sumpah Pemuda.

Seperti diketahui, pada tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda dari seluruh Indonesia berkumpul dan berkongres di Jakarta sebagai tanda bersatu dan mengucapkan ikrar bahwa mereka bersatu, dalam bahasa dan tanah air.

Dengan demikian, maka jika para pemuda yang mewakili masyarakat daerah masing-masing di tanah air bersatu, maka itu akan menjadi kekuatan dan sangat membahayakan kepentingan Belanda di Indonesia.

Oleh karenanya Belanda menghembuskan isu untuk memecah belah (devide et impera) antara dua kekuatan suku yang sangat dominan, yaitu antara suku Sunda dan suku Jawa.

Suku Sunda dan suku Jawa memang suku yang paling banyak penduduknya dan dengan demikian maka sangat berpengaruh jika dua kekuatan itu dipecah belah.

Sri Sultan mengatakan yang mempopulerkan itu adalah seorang intelektual Belanda yang bernama CC Berg yang dituliskan dalam disertasinya pada tahun 1927-1928 atau bertepatan dengan situasi digelarnya Kongres Sumpah Pemuda.

CC Berg menuliskan disertasinya itu dengan maksud terselubung untuk menimbulkan kebencian suku Sunda kepada suku Jawa.

"Intelijen Belanda terlibat dalam mengembuskan isu kebencian itu," kata Sri Sultan.

Dalam sejumlah kitab ada kisah peristiwa Perang Bubat yang melibatkan raja Sunda dengan para pejabat dan pengawalnya yang terlibat peperangan dengan Majapahit pimpinan Gajah Mada.

Raja Sunda yang mengantarkan putrinya Dyah Pitaloka untuk melangsungkan pernikahan dengan Hayam Wuruk tiba-tiba dicegat pasukan Majapahit pimpinan Gajah Mada di wilayah Bubat, Jawa Timur.

Hal tersebut berawal ketika raja Majapahit Prabu Hayam Wuruk konon jatuh cinta kepada Dyah Pitaloka, putri Kerajaan Sunda yang cantik jelita.

Hayam Wuruk lantas mengutus Perdana Menteri nya, Gajah Mada, untuk mendatangi Sunda guna meminang Dyah Pitaloka kepada raja Sunda.

Setelah diterima, disepakati jika pernikahan akan dilangsungkan di Trowulan, ibukota Kerajaan Majapahit.

Dengan diiringi rakyatnya, maka berangkatlah raja Sunda, Linggabuana, diiringi dengan para pejabat dan para pengawalnya melakukan perjalanan jauh dari Sunda menuju Trowulan.

Tetapi ketika sampai di Bubat, tiba-tiba datang seorang utusan Gajah Mada yang mengatakan agar raja Sunda menyerahkan saja Pitaloka sebagai tanda takluk kepada Majapahit.

Rombongan Sunda naik pitam mendengar hal itu. Mereka datang jauh-jauh ke Trowulan untuk menikah, bukan menyerahkan begitu saja Pitaloka sebagai tanda takluk.

Itulah cikal bakal terjadinya tragedi Bubat. Dimana rombongan raja Sunda mengalami kekalahan. Raja Sunda, para menteri dan para pengawalnya tewas.

Melihat hal itu, Dyah Pitaloka tak tahan menanggung kepedihan. Dyah Pitaloka lalu melakukan bela pati, atau bunuh diri.

Sri Sultan mengatakan, Berg sebagai seorang profesor sangat mungkin mengintimidasi opini publik seolah-olah ada kecurangan yang dilakukan oleh Majapahit.

Apalagi penerbitan naskah karya Berg itu berbarengan dengan gelaran Sumpah Pemuda.

"Naskah Berg itu adalah propaganda untuk menimbulkan kebencian suku Sunda kepada suku Jawa. Itu adalah bagian dari politik devide et impera Belanda," kata Sri Sultan.

Belanda juga mengaitkan tragedi Bubat itu dengan nafsu dari Maha Patih Gajah Mada yang berambisi untuk menaklukkan seluruh wilayah Nusantara kepada kekuasaan Majapahit.

Pada saat itu nyaris seluruh wilayah yang disebut dengan Indonesia sekarang ini sudah ditaklukkan Majapahit, kecuali Kerajaan Sunda.

Sedangkan adanya mitos larangan menikah antara suku Sunda dengan suku Jawa itu berawal dari ketika adik Dyah Pitaloka, Wastukencana, diangkat menjadi raja Sunda menggantikan ayahnya.

Setelah dewasa Wastukencana ini terkenal dengan nama Prabu Siliwangi yang legendaris. Prabu Siliwangi lalu mengeluarkan larangan menikah antara suku Sunda dengan suku Jawa.

Apapun yang terjadi, kini di Bandung sudah ada nama jalan yaitu jalan Majapahit dan jalan Hayam Wuruk yang diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat pada waktu itu, Achmad Heryawan pada tahun 2018 lalu. Untuk menghapus "luka lama".

Begitu pun di Yogyakarta sudah ada nama jalan Pajajaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun