Individu seperti ini rela untuk tidak "dianggap ada" dalam kehidupan sosialnya. Selalu ada orang yang berupaya membangun kesadaran dirinya, berhati-hati dalam menghadirkan dirinya. Meskipun "jebakan-jebakan" tanda dalam dunia maya rasanya sulit sekali dihindari.
"Hasrat selalu ingin hadir dalam ruang-ruang sosial, justru menjadikan kita 'tersingkir' karena pencitraan diri yang berlebihan," Dhanny mengingatkan.
"Saat seseorang merasa bahwa apa yang dimilikinya sudah cukup dan yang bersangkutan tidak perlu lagi penilaian orang lain terhadap dirinya, saat itulah ia memutuskan untuk pamer" Endang menegaskan.
Pengaruhnya terhadap imagediri, menurut Endang, bisa positif dan bisa pula negatif, bahkan bisa tidak ada pengaruhnya sama sekali, minimal yang terungkap di permukaan. Ini karena penilaian terhadap perilaku seseorang kadang terwujud, namun kadang pula hanya menjadi catatan dalam hati.
Sikap pamer akan menjadi negatif saat sesuatu yang dipamerkan dapat membuat iri, kecemburuan dan bahkan menimbulkan kebencian dari pihak orang lain. "Akibatnya, respons balik yang didapat adalah cibiran, ejekan, kebencian bahkan hujatan," tandas Endang.
Sebaliknya, pamer juga bisa positif. Perilaku pamer bisa memiliki dampak yang baik saat sesuatu yang dipamerkan dapat "menjual" dan menaikkan nilai seseorang. Contohnya, ketika pamer kualifikasi kita dalam portofolioyang dipublikasikan di dunia maya, mungkin ada headhunteryang kemudian menawari kita sebuah tanggung jawab baru dan posisi yang lebih baik.
Pamer juga bisa berdampak positif saat yang dipamerkan dapat menginspirasi orang lain. Ini terjadi saat hal yang dipamerkan dianggap baik oleh orang lain dan dapat mendorong orang lain tersebut untuk melakukan hal yang sama atau lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H