Untuk meminimalisir berbagai khawatir, Nurul menegaskan agar kita mengenali baik-baik calon pasangan kita.
"Tidak ada salahnya mencari tahu bagaimana karakter calon pasangan dari teman, rekan kerja, atau keluarga. Jika sama-sama pernah gagal, perhatikan apakah ia cenderung menyalahkan mantannya atau mampu introspeksi dengan kekurangannya, bahkan jika andil terbesar dari kegagalan pernikahannya lebih besar diakibatkan oleh pasangannya," kata Nurul.
Ia mengingatkan bahwa orang yang terlalu menyalahkan mantan biasanya secara sadar ataupun tidak sedang bersikap defensif untuk menutupi andilnya sendiri. Karena itu, mengenali calon pasangan baru secara luar-dalam amatlah penting.
"Bersikaplah realistis dan kritis dalam menilai karakter pasangan. Bila masih trauma, atasi dan selesaikan dulu masalah tersebut sebelum masuk dalam pernikahan kedua. Bila seseorang menikah lagi saat psikologisnya belum pulih, maka dengan sendirinya akan membawa masalah lama ke dalam kehidupan yang baru," tegas Widya.
Keyakinan diri saja tidaklah cukup. Kedua Psikolog ini mengingatkan ada peran pihak lain yang perlu diperhatikan dalam mengambil keputusan penting ini: anak-anak dan keluarga.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab umumnya keluarga terutama anak-anak khawatir, apakah orangtua tiri akan menyayangi mereka, khawatir akan ditinggalkan dan tidak diurus karena orangtua kandung telah memiliki keluarga baru.
Terbentuknya keluarga baru tentu akan membawa anak pada suasana dan kondisi yang baru pula. Anak pun dituntut untuk beradaptasi, hal ini akan lebih mudah dilakukan bila anak secara sukarela menerima keluarga barunya. Bila tidak, ia merasa terpaksa dan tidak nyaman akibatnya terganggu secara psikologis.
"Karena anak merupakan bagian dari anggota keluarga, maka persetujuannya sangat penting. Dengan menikah kembali, artinya anak akan bertemu dan terlibat dengan keluarga barunya. Anda harus pahami kekhawatiran, harapan dan keinginan anak," Widya mengingatkan.
Ajak anak bicara dari hati ke hati. Jelaskan padanya apa alasan orangtua untuk menikah kembali, serta konsekuensi dan perubahan apa saja yang akan terjadi, lalu ajak anak untuk mempertimbangkan konsekuensi tersebut.
"Sebagai bagian penting dari keluarga, tentunya suara anak harus didengarkan, baik itu keberatan maupun dukungan," tegas Nurul. "Pahami ketakutan dan ketidaksetujuan anak secara proporsional. Kritisi apakah ketidaksetujuan yang diungkapkan itu wajar ataukah tidak berdasar atau terlalu mengada-ada."
"Jika anak belum dapat menerima, sebaiknya tidak dipaksakan. Pahami sikap dan ketidaksetujuannya. Berikan jaminan bahwa kasih sayang orangtua tidak akan berkurang atau tergantikan walaupun telah menikah kembali," papar Widya.