Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

pelangidipagihari.blogspot.com seindahcahayarembulan.blogspot.com sinarigelap.blogspot.com eaglebirds.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Homesickness, 'Sakit Rumah' dari Ringan Sampai Berat

18 Juni 2017   07:37 Diperbarui: 20 Juni 2017   12:46 3958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tinggal jauh dari keluarga, entah untuk sekolah atau bekerja, sering kali menimbulkan rasa kangen yang mendera. Kerinduan akan semua hal yang terkait dengan tempat lama membuat seseorang tak berdaya di tanah rantau. Bagaimana menyikapinya?

Di balik keberhasilan keluar dari zona nyaman bernama rumah, ada perasaan gelisah dan kerinduan yang membuncah. Inilah gambaran seseorang yang mengalami homesickness.

Menurut Nurindah Fitria, M.Psi., Psikolog, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas YARSI, homesickness mencakup reaksi-reaksi terhadap sejumlah situasi yang disebabkan perpisahan dari orang-orang dan tempat yang dikenal dengan baik. Hal ini terkait dengan proses penyesuaian diri seseorang dengan budaya baru.

"Homesickness merupakan reaksi emosional yang lazim terjadi ketika kita merasa stres beradaptasi dengan lingkungan baru. Kondisi ini normal dialami oleh perantau," ujar Fitria.

Terkadang, lanjutnya lagi, homesickness juga dikaitkan dengan seseorang yang kurang memiliki kompetensi untuk menjalin relasi atau terlibat aktif dengan lingkungan sosial.

Pendapat senada disampaikan oleh Anna Dauhan, M.Psi., Psikolog, dari Daya Insani Indonesia, bahwa homesickness lebih mengarah pada sres emosi terkait dengan kerinduan akan sesuatu yang sifatnya familiar. Dalam hal ini tidak hanya rumah, tetapi juga keluarga, teman, kebiasaan, makanan, dan lain-lain.

"Perpisahan dengan lingkungan yang membuat kita nyaman, inilah pemicunya. Karena hilangnya segala sesuatu mulai dari kebiasaan, makan, teman, dan lainnya," kata Anna.

Setiap orang, menurut Anna, mekanismenya berbeda-beda. Ada yang tidak mengalaminya karena saking antusiasnya dengan tempat baru, ada pula yang langsung merasakan ketika menginjakkan kaki pertama kali di tempat baru, ada pula yang tertunda setelah euforia berada di tempat baru memudar dan lama-kelamaan muncul homesickness. Selain itu, ini juga sering terjadi kala perayaan hari besar seperti Lebaran, Natal, dan lainnya.

Homesickness berlanjut atau tidak tergantung pada apakah orang tersebut bisa beradaptasi, mendapatkan teman yang menyenangkan untuknya, atau menemukan tempat-tempat yang seru. Sebaliknya, akan berlanjut bila seseorang tak kunjung mampu beradaptasi dan merasa tidak ada yang bisa menggantikan apa pun yang ada di tempat lamanya.

"Homesickness itu dipicu oleh kecemasan berpisah dari sesuatu yang familiar. Kombinasi antara kesepian dan ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda. Makanya muncul di awal, karena masih mencari dan menyesuaikan diri," ungkap Anna.

Tandanya kangen dengan hal-hal yang berbau rumah, kangen masakan rumah, atau melihat bendera Indonesia tiba-tiba menangis.

"Jika hanya kangen biasa dan mudah teralihkan, tidak masalah. Waspadai jika rasa kangen itu sudah mengganggu fungsi sehari-hari. Saking kangennya hanya memikirkan rumah, lalu tidak mau belajar atau bekerja," Anna mengingatkan.

Fitria mencatat ada dua faktor utama yang memicu homesickness, yaitu: kepribadian, seperti individu yang introvert, kaku, tidak terbuka, terlalu bergantung pada orang lain, memiliki lebih banyak pikiran-pikiran negatif mengenai dirinya dan lingkungan, serta kurang menunjukkan sikap dominan. Dan kedua, faktor lingkungan dan situasi, seperti jarak tempat baru dari rumah yang lama, penerimaan dari lingkungan yang baru, kesamaan budaya dan bahasa, lingkungan pertemanan, dan sebagainya.

Menurutnya, homesickness ditandai adanya rasa kehilangan dan memiliki kerinduan yang berlebihan akan rumah, sering kali diikuti keinginan yang sangat kuat untuk kembali pulang.

Kategorinya mulai dari ringan hingga berat. Ringan dianggap normal terjadi pada sebagian besar orang yang melakukan perpindahan ke tempat baru. Bentuknya juga sama seperti pengalaman emosional yang umum terjadi, seperti rasa sedih, kehilangan, rindu, dan merasa sendiri. Kategori berat dianggap sebagai gangguan, bentuknya serupa gejala depresi, seperti sulit makan, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, menyendiri, kehilangan berat badan, dan lain-lain.

Lebih rinci Fitria menjelaskan, rasa kangen muncul ketika tidak mendapatkan perasaan yang terbiasa dimiliki selama ini, kegagalan menyesuaikan diri, terlalu intens berhubungan dengan keluarga atau teman pun semakin menimbulkan keinginan untuk kembali karena menganggap tidak ada lagi yang sebaik lingkungan lama. Juga kebiasaan selalu membanding-bandingkan lingkungan baru dengan lingkungan lama pun dapat memperburuk kondisi. Selain itu, karena mengidentifikasi diri dengan tempat tinggal lama, adanya ikatan yang kuat dengan tempat lama akan semakin meningkatkan rasa kangen tersebut.

Perilaku yang muncul ketika homesickness menyerang mirip dengan kondisi ketika berduka atas kehilangan seseorang. Bentuknya berupa pikiran-pikiran intrusif, misalnya selalu memikirkan rumah bahkan saat harus berkonsentrasi melakukan sesuatu. Merasa sres tiap kali memikirkan rumah atau keluarga, berusaha untuk selalu menelepon atau sering pulang, sering memimpikan orang-orang terdekat, gelisah, tidak betah, membenci orang-orang dan tempat yang baru, menyalahkan orang lain atas kehadirannya di tempat baru, rasa bersalah atas keputusannya merantau.

"Masa awal perpindahan merupakan waktu yang rentan mengalami homesickness karena culture shock (gegar budaya) akibat adanya perbedaaan budaya, bahasa, kebiasaan, makanan dan lainnya," ungkap Fitria.

Kedua psikolog ini mengingatkan ada banyak solusi mengatasi homesickness ini.

"Eksplorasi tempat baru, datangi tempat-tempat yang paling menarik atau paling populer agar bisa mengenal budaya yang ada, berbaurlah dengan orang-orang sekitar, ikuti kegiatan yang ada, cari tahu kuliner yang khas atau pasar lokal sehingga tidak kesulitan untuk mencari makanan,"  saran Fitria.

Selain itu, batasilah koneksi dengan orang-orang di tempat asal. Aturlah frekuensi komunikasi menjadi tidak terlalu sering ataupun terlalu jarang, sehingga punya waktu untuk bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan baru, tapi juga tidak kehilangan orang-orang di tempat lama.

Jangan terlalu ekstrem mengubah kebiasaan lama agar tidak kehilangan jati diri, sibukkan diri dengan rutinitas agar tidak ada waktu memikirkan tempat asal dan memunculkan homesickness. Lakukan perawatan tubuh, konsumsi makanan yang disukai, berekreasi sehingga rileks. Pelajari hal-hal baru dan baik, misalnya mengikuti kursus bahasa, kursus keterampilan. Selain menambah kompetensi dapat juga memperluas jaringan pertemanan sehingga tidak akan merasa sendiri lagi.

Temukan teman dari daerah yang sama untuk berbagi suka duka selama di perantauan. Jadikan tanah rantau sebagai 'rumah' baru. Hadapi rasa takut! Jangan menyerah dengan rasa cemas atau kekhawatiran terhadap lingkungan baru. Lakukan sesuatu yang mungkin selama ini tidak pernah Anda lakukan, seperti memulai perkenalan dengan orang baru, memakan makanan baru, atau mencoba olahraga baru.

"Homesickness adalah hal normal yang dialami tidak hanya pada 1 atau 2 orang sehingga homesickness tidak menjadi penghalang bagi kita untuk terus beraktivitas di tempat yang baru. Berlarut dalam kondisi homesickness hanya akan menyebabkan kegagalan," tukas Fitria mengingatkan.

Pesan yang sama disampaikan oleh Anna. "Obati kangen tersebut dengan mengontak keluarga dan teman, tapi tidak terlalu sering sebab akan memperburuk situasi. Bagi keluarga juga mesti mengendalikan diri, jangan terlalu sering menghubungi, agar memberi kesempatan pada si perantau untuk belajar strategi menyesuaikan diri dan membangun hubungan dengan teman barunya. Sehingga dia belajar untuk survive di tempat barunya."

Anna mengingatkan, seringnya berkomunikasi tidak akan membantu, justru keluarga harus menguatkan dan mendukung, bukan memanjakan.

Fitria menyebutkan hal yang memotivasi agar tetap bertahan adalah keinginan untuk menunjukkan keberhasilan, mencapai cita-cita, keinginan untuk memperoleh pengalaman baru, rasa nyaman dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, yang dapat menggoyahkan hati adalah kerinduan yang sangat akan keluarga, ketidakmampuan adaptasi, ketidakpuasan atas capaian yang buruk dan hubungan dengan orang-orang di lingkungan baru, serta putus asa.

"Jika tak kunjung memiliki sistem pendukung yang bagus, kegagalan beradaptasi, tidak mencapai tujuan, dan merasa tidak produktif, saat itulah homesickness mengalahkannya. Sebaliknya, yang membuatnya berhasil adalah bila mampu membangun sistem pendukung yang baik, menemukan hal-hal menarik yang tidak ada di rumahnya, melihat banyak kesempatan dan peluang untuk berkembang dibandingkan dengan di daerah asalnya," Anna menambahkan.

Karena itu Anna berpesan, sebelum berangkat lakukan sejumlah persiapan untuk meminimalisir ataupun mengantisipasinya. Misalnya latihan jauh dari rumah, cari tahu kebiasaan dan lingkungan di daerah tujuan seperti apa, dan cari informasi seputar tempat-tempat penting dan menarik agar lebih mudah beradaptasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun