"Jika hanya kangen biasa dan mudah teralihkan, tidak masalah. Waspadai jika rasa kangen itu sudah mengganggu fungsi sehari-hari. Saking kangennya hanya memikirkan rumah, lalu tidak mau belajar atau bekerja," Anna mengingatkan.
Fitria mencatat ada dua faktor utama yang memicu homesickness, yaitu: kepribadian, seperti individu yang introvert, kaku, tidak terbuka, terlalu bergantung pada orang lain, memiliki lebih banyak pikiran-pikiran negatif mengenai dirinya dan lingkungan, serta kurang menunjukkan sikap dominan. Dan kedua, faktor lingkungan dan situasi, seperti jarak tempat baru dari rumah yang lama, penerimaan dari lingkungan yang baru, kesamaan budaya dan bahasa, lingkungan pertemanan, dan sebagainya.
Menurutnya, homesickness ditandai adanya rasa kehilangan dan memiliki kerinduan yang berlebihan akan rumah, sering kali diikuti keinginan yang sangat kuat untuk kembali pulang.
Kategorinya mulai dari ringan hingga berat. Ringan dianggap normal terjadi pada sebagian besar orang yang melakukan perpindahan ke tempat baru. Bentuknya juga sama seperti pengalaman emosional yang umum terjadi, seperti rasa sedih, kehilangan, rindu, dan merasa sendiri. Kategori berat dianggap sebagai gangguan, bentuknya serupa gejala depresi, seperti sulit makan, tidak mau berinteraksi dengan orang lain, menyendiri, kehilangan berat badan, dan lain-lain.
Lebih rinci Fitria menjelaskan, rasa kangen muncul ketika tidak mendapatkan perasaan yang terbiasa dimiliki selama ini, kegagalan menyesuaikan diri, terlalu intens berhubungan dengan keluarga atau teman pun semakin menimbulkan keinginan untuk kembali karena menganggap tidak ada lagi yang sebaik lingkungan lama. Juga kebiasaan selalu membanding-bandingkan lingkungan baru dengan lingkungan lama pun dapat memperburuk kondisi. Selain itu, karena mengidentifikasi diri dengan tempat tinggal lama, adanya ikatan yang kuat dengan tempat lama akan semakin meningkatkan rasa kangen tersebut.
Perilaku yang muncul ketika homesickness menyerang mirip dengan kondisi ketika berduka atas kehilangan seseorang. Bentuknya berupa pikiran-pikiran intrusif, misalnya selalu memikirkan rumah bahkan saat harus berkonsentrasi melakukan sesuatu. Merasa sres tiap kali memikirkan rumah atau keluarga, berusaha untuk selalu menelepon atau sering pulang, sering memimpikan orang-orang terdekat, gelisah, tidak betah, membenci orang-orang dan tempat yang baru, menyalahkan orang lain atas kehadirannya di tempat baru, rasa bersalah atas keputusannya merantau.
"Masa awal perpindahan merupakan waktu yang rentan mengalami homesickness karena culture shock (gegar budaya) akibat adanya perbedaaan budaya, bahasa, kebiasaan, makanan dan lainnya," ungkap Fitria.
Kedua psikolog ini mengingatkan ada banyak solusi mengatasi homesickness ini.
"Eksplorasi tempat baru, datangi tempat-tempat yang paling menarik atau paling populer agar bisa mengenal budaya yang ada, berbaurlah dengan orang-orang sekitar, ikuti kegiatan yang ada, cari tahu kuliner yang khas atau pasar lokal sehingga tidak kesulitan untuk mencari makanan," Â saran Fitria.
Selain itu, batasilah koneksi dengan orang-orang di tempat asal. Aturlah frekuensi komunikasi menjadi tidak terlalu sering ataupun terlalu jarang, sehingga punya waktu untuk bersosialisasi dengan orang-orang di lingkungan baru, tapi juga tidak kehilangan orang-orang di tempat lama.
Jangan terlalu ekstrem mengubah kebiasaan lama agar tidak kehilangan jati diri, sibukkan diri dengan rutinitas agar tidak ada waktu memikirkan tempat asal dan memunculkan homesickness. Lakukan perawatan tubuh, konsumsi makanan yang disukai, berekreasi sehingga rileks. Pelajari hal-hal baru dan baik, misalnya mengikuti kursus bahasa, kursus keterampilan. Selain menambah kompetensi dapat juga memperluas jaringan pertemanan sehingga tidak akan merasa sendiri lagi.