Setelah kita memiliki akun untuk bertransaksi di pasar saham, selanjutnya kita harus menentukan saham mana yang akan kita beli, kapan kita beli atau pada harga berapa kita beli, berapa banyak lembar saham yang akan kita beli, kapan kita akan jual dan seterusnya.
Jawaban dari semua pertanyaan di atas merupakan kegiatan utama atau "core business" dari bisnis saham yang kita jalani. Kesuksesan kita dalam berbisnis di pasar modal tergantung dari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Sebenarnya jawaban dari pertanyaan di atas juga ditentukan oleh motivasi awal kita masuk ke pasar saham seperti yang sudah kita bahas di bagian sebelumnya dan juga tergantung dari tipe investor seperti apa yang kita pilih untuk dijalani.
Sebagai contoh kalau tujuan kita berinvestasi di pasar saham adalah untuk memberikan lindung nilai (hedging) atas asset yang kita miliki maka pilihan saham yang tepat untuk dibeli adalah saham-saham perusahaan besar yang sudah mapan.
Saham-saham perusahaan besar dan mapan ini disebut juga saham lapis satu atau big caps karena kapitalisasi pasarnya (market cap) sangat besar. Saham ini juga sering disebut sebagai saham kapal induk karena ukurannya sangat besar dan pergerakannya lamban atau tidak selincah saham perusahaan yang lebih kecil.
Karena pergerakannya pelan-pelan, saham ini memberikan rasa aman bagi investor karena kemungkinan kecil sahamnya tiba-tiba terjun bebas.
Saham-saham lapis satu ini cocok untuk melindungi asset kita dari gerusan inflasi dan terkadang bisa memberikan return sekitar 20-30% per tahun, jauh di atas bunga deposito dan besaran inflasi. Namun demikian kita juga tidak bisa berharap dapat keuntungan berlipat dalam waktu kurang dari satu tahun.
Contoh saham-saham big caps antara lain, saham bank BCA (BBCA), bank BRI (BBRI), bank Mandiri (BMRI), bank BNI (BBNI) dan disektor lain seperti saham ASTRA group (ASII), Indofood (INDF), PT Telkom (TLKM), perusahaan tambang Adaro group (ADRO) dan masih banyak lagi.
Meskipun secara umum membeli saham big caps tergolong aman, namun kita tetap perlu berhati-hati  dalam memilih saham ini.
Dalam beberapa kasus, meskipun perusahaan memiliki kapitalisasi pasar yang besar, produk terkenal dan manajemen bagus namun harga sahamnya cenderung turun, contohnya adalah saham Unilever (UNVR), Sampoerna (HMSP) atau Gudang Garam (GGRM).
Saham Sampoerna dan Gudang Garam terus turun karena terbebani oleh biaya cukai yang sangat besar dan tiap tahun naik sebagai dampak dari kebijakan pemerintah untuk membatasi jumlah perokok di tanah air.
Saham-saham jenis ini disebut sebagai saham "Dead Star", karena sebelumnya mereka memang pemain utama (bintang) Â pada industrinya namun mereka tidak dapat mempertahankan kinerja yang tinggi, baik karena dampak kebijakan pemerintah maupun karena persaingan bisnis yang semakin ketat
Dalam dunia pasar saham yang dikenal dengan jargon "High risk high return", saham-saham big caps ini umumnya menawarkan low risk low return.
Pilihan saham selanjutnya untuk dibeli adalah saham lapis kedua atau second liner. Perusahaan yang masuk kategori ini adalah perusahaan menengah dan beberapa diantaranya mungkin sedang bertumbuh untuk menjadi saham big caps.
Berinvestasi pada saham second liner menjanjikan keuntungan yang cukup besar dibanding saham big caps meskipun resikonya juga sebanding namun masih terbilang aman dibanding saham third liner.
Jadi saham second liner ini dari sisi risk dan return cocok bagi investor tipe moderat yang menginginkan gain atau profit lebih besar dengan resiko yang lebih terukur dan terkendali.
Bagi para pensiunan yang masih menyukai tantangan saham jenis ini dapat menjadi saham pilihan, namum bagi yang menyukai main aman maka saham big caps dapat menjadi pilihan terbaik mereka. Tiap-tiap orang memiliki preferensi yang berbeda tergantung profil resiko masing-masing.
Sebenarnya tidak ada penggolongan secara resmi oleh BEI untuk saham-saham yang masuk kategori second liner ini. Kriteria yang umum untuk saham second liner adalah kapitalisasi pasarnya berkisar 1-10 triliun rupiah. Diatas 10 triliun rupiah dikategorikan sebagai saham big caps dan dibawah 1 triliun rupiah dikategorikan sebagai saham third liner.
Karena nilai pasar atau market cap perusahaan bisa berubah-ubah seiring waktu maka sebuah perusahaan kadang masuk second liner kadang bisa juga masuk kategori big caps atau bahkan third liner.
Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) di bulan Mei 2023 jumlah emiten di pasar saham total ada 863 emiten, dari jumlah tersebut yang termasuk big caps (kapitalisasi pasar lebih besar dari 10 triliun) sebanyak 122 perusahaan, second liner (market cap 1 -- 10 triliun) sebanyak 324 perusahaan dan sisanya sebanyak 417 perusahaan dikategorikan sebagai third liner.
Dari 417 saham yang dikategorikan sebagai saham third liner (kapitalisasi pasar kurang dari 1 triliun) sebanyak 313 emiten atau sebagian besar merupakan saham perusahaan "gurem" dengan kapitalisasi pasar sekitar 100-500 milyar sehingga harganya mudah digerakkan oleh investor dengan modal besar atau market maker.
Berinvestasi di saham third liner dapat diibaratkan naik roll coaster karena pergerakan harga saham sangat liar, volatilitas tinggi dan sulit diprediksi sehingga sangat tidak disarankan bagi para pensiunan yang rata-rata sudah lanjut usia dan kemungkinan tidak kuat menghadapi perubahan yang ekstrem.
Setelah kita mengetahui saham yang akan kita beli, sebaiknya kita membeli lebih dari satu saham untuk mendistribusikan resiko yang mungkin terjadi. Hal ini sesuai dengan dogma lama "jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang" yang artinya jangan menggunakan semua uang kita untuk membeli hanya satu saham saja.
Kumpulan saham yang kita beli atau kita miliki dinamakan portofolio, dengan kata lain cara mengelola atau mengatur saham ini disebut dengan pengaturan portofolio.
Berapa idealnya jenis dan jumlah saham yang harus ada dalam portofolio kita agar menghasilkan keuntungan yang maksimal?
Idealnya 5-10 saham merupakan jumlah saham yang optimal dalam portofolio kita dengan mempertimbangkan pendistribusian resiko dan keterbatasan fokus kita untuk memonitor dan memperhatikan pergerakan harga setiap saham yang kita miliki.
Bila jumlah saham yang kita miliki terlalu sedikit maka resiko kerugian yang kita hadapi semakin besar, namun bila terlalu banyak saham yang kita kelola ada keterbatasan fokus atau perhatian untuk memonitor kondisi setiap saham sehingga secara keseluruhan hasilnya juga tidak maksimal.
Ada beberapa prinsip-prinsip dasar pengaturan portofolio yang harus kita perhatikan agar memberikan "return" yang maksimal sesuai dengan profil resiko yang kita miliki, yaitu:
- Keseimbangan antara saham big caps dan middle caps atau fast grower
Saham big caps atau saham kapal induk identik dengan saham yang memeberikan return tidak terlalu tinggi tetapi resiko kerugiannya sangat kecil sebaiknya dikombinasikan dengan saham yang dapat memberikan return tinggi meskipun resikonya juga tinggi.
Komposisi antara saham big caps dan second liner biasanya sekitar 20/80 sampai dengan 50/50 tergantung tingkat resiko yang dapat kita terima.
- Keseimbangan antara saham dari berbagai sektor / industri
Dalam membeli saham kita harus memperhatikan sektor apa saja yang sedang "manggung" agar return yang kita peroleh menjadi maksimal. Namun bisa jadi prediksi kita mengenai sektor yang sedang dan akan manggung ternyata salah.
Oleh karena itu, sebaiknya kita mendistribusikan resiko tadi dengan tidak all out di satu sektor atau industri.
Idealnya ada 3-4 sektor yang kita masuki dan setiap sektor kita punya 2-3 saham dari perusahaan yang berbeda sehingga idealnya kita punya sekitar 6-10 saham yang berbeda dalam portofolio kita.
Demikian panduan teknis dalam memilih saham dan mengatur portofolio kita berdasarkan prinsip-prinsip yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan agar kita bisa terhindar dari resiko kerugian dan mendapatkan keuntungan yang maksimal dan konisten di pasar saham.
Catatan :
Bersambung... Pada bagian selanjutnya (bagian-5), kita akan membahas mengenai "money management" dan "persiapan psikologis" sebagai bekal penting dalam bertransaksi di pasar saham.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H