Pada masa pendudukan Jepang periode 1942-1945, perkeretaapian Indonesia diambil alih Jepang dan berubah nama menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api). Selama penguasaan Jepang, operasional kereta api hanya diutamakan untuk kepentingan perang.
Jepang juga melakukan pembongkaran rel sepanjang 473 km yang diangkut ke Burma untuk pembangunan kereta api disana.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 maka dilakukan pengambil alihan stasiun dan kantor pusat kereta api yang dikuasai Jepang, yang puncaknya terjadi di Kantor Pusat Kereta Api Bandung tanggal 28 September 1945 yang dikenal sebagai Hari Kereta Api Indonesia.
Pada tahun 1946 Belanda kembali ke Indonesia, membentuk kembali Staatssporwegen/Verenigde Spoorwegbedrif (SS/VC), gabungan SS dan seluruh perusahaan kereta api swasta (kecuali Delispoorweg Maatschappij/DSM).
Pada tahun 1950 setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda maka dilakukan pengalihan dan penggabungan antara DKARI dan SS/VS menjadi Djawatan Kereta Api (DKA). Pada tanggal 25 Mei 1950 DKA berganti menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA).
Pada tahun 1971 Pemerintah mengubah struktur PNKA menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), dan selanjutnya pada 1991 PJKA berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka).
Tahun 1998 Perumka berubah menjadi Perseroan Terbatas, PT Kereta Api Indonesia (Persero) sampai saat ini.
Sejak diambil alih atau dinasionalisasi oleh negara Indonesia dari tangan Belanda sampai dengan tahun 2000-an, tidak ada perubahan yang signifikan dalam perkembangan perkeretaapian di Indonesia.
Pada periode itu Kereta Api identik dengan transportasi masal yang murah meriah bagi rakyat kebanyakan dengan kondisi yang semrawut, over kapasitas, tempat duduk tidak semua diatur dan ada nomernya sehingga orang bebas duduk dimana saja, siapa cepat siapa dapat.
Kondisi dalam kereta juga tidak kalah memprihatinkan, pedagang asongan bebas wira-wiri di dalam gerbong. Untuk kelas ekonomi identik dengan toilet bau dan kumuh bahkan tidak ada penampung sisa orang buang hajat, langsung jatuh di rel kereta. Benar-benar jorok dan barbar.
Demikian pula dengan kondisi di stasiun, terkesan kotor, kumuh, pedagang asongan ada dimana-mana sehingga seringkali mengganggu kenyamanan penumpang.