Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mafia Migor Akhirnya Tertangkap, What's Next?

22 April 2022   23:11 Diperbarui: 23 April 2022   07:22 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Wagub Jatim, Emil Dardak dan jajarannya ketika meninjau pabrik minyak goreng Wilmar, Sumber: kabarjawatimur.com

Pada hari Selasa (19/4/2022) yang lalu Jaksa Agung ST Burhanuddin  menyampaikan bahwa Tim Kejaksaan menetapkan empat orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelewengan minyak goreng.

Adapun keempat tersangka itu adalah Dirjen Perdagangan Luar Negeri pada Kementerian Perdagangan yang berinisial IWW, Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia berinisial PT, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup berinisial SMA, dan TS selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.

Berdasarkan penjelasan dari Kejaksaan Agung (Kejagung), IWW menjadi tersangka pada kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya.

IWW diduga telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menerbitkan persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya. Persetujuan tersebut diberikan kepada perusahaan Permata Hijau Group, Wilmar Nabati Indonesia, dan PT Musim Mas.

Burhanuddin menambahkan, Indonesia sempat mengalami kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng di pasar pada akhir 2021. Kemudian, pemerintah melalui Kemendag mengambil kebijakan utuk menetapkan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price obligation (DPO) bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya.

Pemerintah saat itu juga menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng sawit. "Dalam pelaksanaannya, perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO, namun tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah," ucap Burhanuddin.

Tiga perusahaan swasta tempat para tersangka itu bernaung merupakan produsen besar minyak goreng kemasan di Indonesia pertama Grup Wilmar yang merupakan produsen minyak goreng terbesar dengan merek Sania, Siip, Sovia, Mahkota, Ol'eis, Bukit Zaitun, Goldie, Fortune, dan Camilla.

Wilmar memproduksi minyak goreng dari perkebunan sawitnya sendiri. Perusahaan yang berkantor pusat di Singapura ini memiliki luas lahan sawit mencapai 232.053 hektare (Ha) per 31 Desember 2020, yang mana 65% di antaranya berada di Indonesia, tepatnya di Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Sisanya sebanyak 26% berada di Sabah dan Serawak, Malaysia, serta 9% di Afrika.

Wilmar juga memiliki 140 pabrik terkait pengolahan kelapa sawit di 10 lokasi Indonesia, seperti Sumatera dan Kalimantan.

Kedua Grup Musim Mas yang juga berkantor pusat di Singapura menjadi produsen minyak goreng dengan merek seperti Sunco, Amago, M&M, Voila, dan Good Choice yang banyak ditemui di pasar domestik. Merek minyak goreng tersebut juga diekspor ke India. Luas kebun sawit Musim Mas mencapai kisaran 100.000 Ha.

Musim Mas juga memiliki pabrik kelapa sawit yang mengolah Crude Palm Oil (CPO) menjadi beberapa produk turunan, termasuk minyak goreng.

Wilmar, Musim Mas bersama dengan Sinar Mas dan Indofood merupakan empat besar perusahaan minyak goreng di Indonesia yang menguasai hampir setengah pangsa pasar domestik sebesar 46,5%.

Ketiga Grup Permata Hijau memproduksi minyak goreng dengan merek dagang Parveen.

Ketiga tersangka dari perusahaan ini diduga berkomunikasi secara intens dengan IWW untuk mendapatkan izin ekspor. Mereka melobi IWW terkait Peraturan Menteri Perdagangan yang mewajibkan pengusaha memenuhi kewajiban Domestic Market Obligation (DMO). Setiap perusahaan sawit yang akan mengekspor harus memenuhi ketentuan DMO 20 persen sebelum mendapatkan izin tersebut.

Merujuk catatan Kementerian Perindustrian, realisasi produksi minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton digunakan untuk memenuhi dalam negeri sebesar 5,07 juta ton (25,07%) dan sisanya sebesar 15,55 juta ton (74,93%) untuk tujuan ekspor.

Kebutuhan minyak goreng sawit (MGS) domestik sebesar 5,07 juta ton (2021), terdiri dari kebutuhan curah industri sebesar 1,62 juta ton (32%), curah rumah tangga 2,12 juta ton (42%), kemasan sederhana 0,21 juta ton (4%), dan kemasan premium 1,11 juta ton (22%).

Kebutuhan minyak goreng untuk rumah tangga dan industri makanan skala UMKM dan/atau IKM masih diperbolehkan membeli MGS dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) sesuai Permendag No. 6 Tahun 2022 tentang Penetapan HET MGS.

Kebutuhan minyak goreng sawit untuk industri sebesar 1,62 juta ton disuplai oleh pabrik MGS dengan mekanisme Business to Business (B2B) dengan harga pasar dan tidak menggunakan minyak goreng sawit hasil DMO.

Industri makanan membutuhkan MGS sebagai bahan baku atau bahan penolong, seperti industri mi instan, industri makanan ringan, dan industri ikan dalam kaleng.

"Industri makanan dan minuman juga terus berkomitmen untuk menggunakan Minyak Goreng Sawit (MGS) yang sesuai dengan peruntukannya," ujar Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi Lukman.

Meskipun mafia migor sudah tertangkap namun harga minyak goreng di pasaran dalam negeri tidak serta merta turun karena harga bahan baku minyak (CPO) saat ini sudah tinggi mengikuti harga internasional.

Kementerian Perdagangan menjelaskan penyebab harga minyak goreng fluktuatif mengikuti harga CPO dunia. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan mengatakan kenaikan harga minyak goreng lebih disebabkan harga internasional yang naik cukup tajam.

"Meskipun Indonesia adalah produsen CPO terbesar, namun kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO," kata Oke.

Dengan entitas bisnis yang berbeda, lanjut Oke, para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri yang mengacu pada harga lelang KPBN Dumai yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional.

Akibatnya, ketika terjadi kenaikan harga CPO internasional, harga CPO di dalam negeri turut menyesuaikan harga internasional.

Kenaikan harga CPO internasional disebabkan karena penurunan pasokan minyak sawit dunia seiring dengan turunnya produksi sawit Malaysia sebagai salah satu penghasil CPO terbesar dunia. 

Di sisi lain permintaan CPO mengalami kenaikan untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. Selain itu, perang Rusia-Ukrania juga menyebabkan suplai komoditas minyak nabati lain yang terbatas sehingga banyak negara beralih ke minyak sawit sehingga menyebabkan permintaan CPO meningkat dan harga naik.

Dengan tertangkapnya Mafia Minyak Goreng yang melibatkan "orang dalam" Kemendag, banyak orang yang berkesimpulan bahwa lamanya proses pengungkapan mafia minyak goreng selama ini gara-gara salah satu tersangkanya merupakan "orang dalam" sebagai pembuat kebijakan itu sendiri.

Pejabat Kementerian yang harusnya melakukan pengawasan terhadap tata niaga CPO dan minyak goreng justru menjadi bagian dari permainan mafia.

Akar masalah munculnya kasus suap ini setidaknya disebakan oleh tiga hal.

Pertama, disparitas harga minyak goreng yang di ekspor dengan harga di dalam negeri terlalu jauh.

Kondisi ini pun dimanfaatkan para mafia untuk melanggar kewajiban Domestic Market Obligation (DMO). Jadi tidak ada yang salah dengan kebijakan DMO untuk penuhi pasokan didalam negeri tapi masalahnya di pengawasan.

Kedua, karena proses pemberian izin ekspor yang dilakukan oleh pejabat Kementerian tidak transparan.

Dalam hal ini tidak ada informasi yang terbuka untuk publik. Sebagai contoh perusahaan yang akan mengekspor CPO wajib memasok kebutuhan dalam negeri 20% dari volume ekspor mereka. Apakah hal ini sudah dilakukan atau belum tidak ada yang tahu kecuali orang dalam atau pejabat Kementerian.

Dengan demikian dipenuhi atau tidaknya seluruh persyaratan tersebut sangat tergantung pada "diskresi kementerian". Ini yang menjadi celah untuk melakukan kongkalikong atau mendorong terjadinya korupsi.

Ketiga, proses untuk mendapatkan dokumen perizinan ekspor minyak goreng di Kementerian Perdagangan, masih manual.

Proses perizinan secara manual selain menyebabkan proses tidak bisa transparan juga mudah diintervensi oleh pihak-pihak yang berwenang. Hal ini juga mendorong terjadinya lobi-lobi atau "pendekatan" secara personal agar izin bisa dikeluarkan.

Bisa jadi ketiga perusahaan MGS yang terlibat dugaan tindakan korupsi kali ini hanya merupakan puncak gunung es. Apakah perusahaan MGS lain selain dari tiga perusahaan yang sekarang diselidiki sudah memenuhi DMO sesuai aturan yang berlaku?

Masyarakat berharap aparat penegak hukum dapat mengembangkan kasus ini pada seluruh pelaku industri MGS lainnya termasuk pelaku di internal Kemendag harus diusut secara tuntas.

Untuk mencegah hal ini terulang di masa depan, pemerintah harus membangun sistim yang lebih transparan dalam proses pemberian lisensi atau persetujuan izin ekspor-impor.

Menyikapi hal ini Presiden Jokowi dalam rapat terbatas pada tanggal 22 April 2022, telah memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai Kamis, 28 April 2022 hingga batas waktu yang akan ditentukan kemudian.

Keputusan ini sebenarnya tidak menyelesaikan akar masalah yang terjadi, bahkan beberapa pengamat menilai ini hanya akan mengulang kesalahan melarang ekspor batu bara pada awal tahun ini.

Pada saat itu pemerintah memutuskan untuk melarang ekspor batu bara per 1-31 Januari 2022 karena terjadi krisis batubara dalam negeri yang disebabkan banyak perusahaan batu bara tidak memenuhi kewajiban DMO.

Namun ironisnya belum genap dua minggu keputusan tersebut dijalankan, pada tanggal 10 Januari 2022 Pemerintah akhirnya mencabut kebijakan larangan ekspor batu bara dan mulai tanggal 12 Januari 2022 ekspor batu bara dibuka lagi.

Semoga kali ini keputusan pemerintah untuk menghentikan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng sudah dipertimbangkan dengan masak-masak, agar tidak seperti kasus penghentian ekspor batu bara yang terkesan inkonsisten alias plin-plan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun