Beberapa waktu setelah Rusia menginvasi Ukrania, harga minyak mentah dunia langsung melonjak tajam dan sempat menyentuh angka diatas US$120 per barel untuk jenis minyak mentah West Texas Intermediate (WTI).
Padahal di awal pandemi harga minyak sempat menyentuh angka terendah bahkan harganya minus kemudian di tahun 2021 naik secara perlahan dari US$50 ke US$70 dan di awal tahun ini berkisar US$70-US$80 per barel.
Selain minyak mentah harga gas alam juga ikut terkerek naik dari sekitar US$3,7 per MMBTU menjadi US$4,5 per MMBTU. Kenaikan ini juga diikuti dengan kenaikan harga BBM seperti bensin (gasoline) dan minyak diesel atau solar di seluruh dunia sebagai produk turunan dari minyak mentah.
Kenaikan minyak mentah ini membuat Pertamina mengalami defisit cukup besar karena harga BBM nonsubsidi sebelum April ini masih mengacu pada harga minyak mentah sekitar US$70 sebagai harga acuan di tahun 2021.
Hal inilah yang melatarbelakangi keputusan Pertamina untuk menaikan harga BBM nonsubsidi per 1 April 2022, meskipun kenaikan ini sebenarnya masih dibawah harga keekonomisan. Sebagai contoh harga keekonomisan Pertamax sekitar Rp 14.500 per liter untuk harga minyak mentah US$110 per barel.
Jadi meskipun telah dinaikkan harganya sebenarnya Pertamina masih "sedikit" merugi karena harganya masih dibawah harga keekonomisan.
Untuk meminimalkan kerugian tersebut salah satu caranya Pertamina harus bisa mendapatkan harga minyak mentah yang lebih murah sehingga harga keekonomisannya paling tidak sama dengan harga jual saat ini.
Mendapatkan minyak mentah dengan harga murah di tengah melonjaknya harga minyak mentah dunia saat ini memerlukan pemikiran yang "out of the box", salah satunya yaitu strategi menunggangi badai atau "riding the hurricane".
Strategi "riding the hurricane" atau strategi "riding the wave" pada prinsipnya adalah memanfaatkan peluang dari sebuah masalah atau bencana yang tengah melanda alih-alih menunggu badai reda dan kondisi kembali normal.
Strategi ini termasuk strategi yang berisiko tinggi namun dapat menghasilkan keuntungan yang besar atau istilahnya "high risk high return". Jadi perlu kehati-hatian, kecermatan dan perhitungan yang matang sebelum melakukannya.
Strategi "riding the wave" atau "menunggangi gelombang" juga dapat diibaratkan seperti seorang peselancar yang memanfaatkan ombak untuk mencapai tujuan. Semakin besar ombak, maka akan semakin besar pula dampak yang diberikan jika dapat dimanfaatkan dengan baik.
Kunci suksesnya adalah dengan tidak melawan atau menaklukkan ombak secara frontal, tetapi mencari cara yang tepat untuk memanfaatkan energi ombak tersebut.
Rencana PT Pertamina (Persero) membeli minyak Rusia dapat dilihat sebagai salah satu penerapan strategi "menunggangi badai".
Saat ini, Pertamina sedang mempertimbangkan membeli minyak mentah untuk produksi Kilang Balongan yang baru direnovasi. Pertamina berniat membeli minyak mentah dari Rusia karena harganya disebut akan lebih murah.
Meski harga minyak mentah dari Rusia lebih murah namun hal ini mengandung resiko yang besar. Hal ini terkait dengan posisi Indonesia yang telah mengambil sikap netral terkait dengan konflik Rusia-Ukraina yang memicu krisis kemanusiaan dan geopolitik di wilayah tersebut.
Pertamina saat ini sedang berkonsultasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Bank Indonesia mengenai rencana tersebut. Di sisi lain, Pertamina juga dilaporkan telah mendekati beberapa penjual Rusia untuk membeli minyak mentah.
Sebenarnya Pertamina bukan yang pertama dan satu-satunya perusahaan minyak di dunia yang berniat membeli minyak dari Rusia.
Dalam artikel berjudul Factbox: Who is Still Buying Russian Crude Oil yang diterbitkan 31 Maret 2022, disebutkan beberapa perusahaan minyak dan gas dari seluruh belahan dunia yang masih membeli minyak Rusia. Mulai dari beberapa negara Eropa hingga Asia.
Perusahaan-perusahaan tersebut adalah Neftochim Burgas asal Bulgaria, Miro dari Jerman, PCK Schwedt dari Jerman, Leuna dari Jerman, Hellenic Petroleum dari Yunani, ISAB dari Italia, MOL dari Hungaria, Zeeland dari Belanda, Petroleum Hindustan dari India, Indian Oil Corp dari India, dan Energi Nayara dari India.
Bila rencana Pertamina untuk membeli minyak dari Rusia terwujud maka Pertamina akan disejajarkan dengan beberapa perusahaan minyak dan gas dari seluruh belahan dunia yang masih membeli minyak Rusia.
Rencana Pertamina untuk membeli minyak dari Rusia diungkapkan langsung oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati dalam Rapat Pendapat dengan Komisi VI DPR Senin (28/3/2022).
"Dengan revamping ini maka Balongan lebih terbuka lebih fleksibel menggunakan crude apapun. Di tengah situasi geopolitik, kita melihat ada opportunity untuk membeli dari Rusia dengan harga yang baik," ujar Nicke.
Nicke juga mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan berbagai pihak dari Kementerian Luar Negeri hingga Bank Indonesia (BI). Dia meyakini dalam hal ini pihaknya tidak melanggar aturan.
Nicke juga menyinggung nantinya soal pembayaran minyak yang dibeli Pertamina akan dilakukan melalui India. Dia juga mengklaim transaksi yang dilakukan akan berupa bussiness to bussiness, jadi tidak lagi melihat aspek politis asalkan perusahaan penjual minyaknya tidak termasuk yang kena sanksi.
Meskipun rencana Pertamina ini kelihatannya bagus dan menguntungkan namun masih memerlukan kajian yang mendalam dan menyeluruh terkait sikap politik Indonesia untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan kedua belah pihak, yaitu negara-negara yang pro dan kontra dalam konflik Rusia-Ukrania saat ini.
Pertimbangan lain adalah tahun ini untuk pertama kalinya, Indonesia memegang Presidensi Group of 20 (G20), forum kerja sama 20 Ekonomi utama dunia. Puncak kegiatan Presidensi G20 Indonesia adalah KTT Bali yang dijadwalkan berlangsung tanggal 15-16 November 2022.
Indonesia juga merupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang bisa menjadi tuan rumah G20 dan sekaligus Business 20 (B20). Ini adalah momen penting untuk untuk menarik investasi sebesar-besarnya di segala bidang.
Dengan demikian reputasi Indonesia sebagai negara netral akan dipertaruhkan dalam Pertemuan G20-B20 yang dihadiri oleh 20 negara di dunia yang merepresentasikan 80% PDB dunia, 75% ekspor global, dan 60% populasi global.
Anggota-anggota G20 yaitu: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Jadi, jangan sampai kesempatan emas untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya di segala bidang hilang begitu saja karena sikap Indonesia yang dinilai tidak netral atau oportunis dengan membeli minyak mentah dari Rusia yang diembargo oleh sebagian besar negara anggota G2-B20.
Jadi pada kasus ini resiko yang harus dihitung bukan hanya resiko dari kegiatan tunggal yang dalam hal ini beli minyak mentah dengan harga murah namun juga harus menghitung resiko jangka panjang sebagai dampak dari keputusan saat ini.
Kembali lagi, tidak ada yang salah dengan konsep "menunggangi badai" atau "menunggangi ombak" asalkan kita sudah berhitung resiko dengan cermat serta dampaknya dalam jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H