Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kisruh Aturan JHT Cair Umur 56 Tahun, Benarkah Karena Dananya Tidak Cukup?

15 Februari 2022   20:13 Diperbarui: 16 Februari 2022   09:02 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diagram Aset Jaminan Sosial, Sumber: jamsosindonesia.com

Permenaker No 2 Tahun 2022 yang telah diteken oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah pada tanggal 2 Februari, memicu pro dan kontra yang meluas baik di kalangan pekerja maupun di masyarakat.

Perdebatan atau lebih tepatnya penolakan ini disebabkan karena dalam aturan baru ini dana Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan (BPJSTK) bagi karyawan yang pensiun baik pension normal, pension dini maupun diberhentikan (PHK) baru bisa dicairkan saat berusia 56 tahun.

Mereka yang setuju dengan aturan baru ini mempunyai alasan bahwa sesuai namanya "jaminan hari tua" jadi wajar kalau dikeluarkan pada saat usia pekerja sudah cukup tua di usia 56 tahun.

Namun dinamika di lapangan tidak sesederhana itu, bagaimana dengan mereka yang pensiun dini atau yang diberhentikan atau di PHK pada usia relatif muda dan perlu modal untuk memulai usaha sendiri?

Kalau harus menunggu di usia 56 tahun jelas sudah sangat terlambat, ini namanya "loss of opportunity", selain momentumnya sudah hilang pada usia tersebut tubuh sudah tidak bisa diajak kompromi untuk bekerja seperti saat masih muda.

Kondisi ini yang paling banyak dialami oleh para pekerja saat ini, mereka harus pensiun atau di PHK pada usia relatif muda karena dampak pandemi covid-19 di mana banyak perusahaan tidak bisa survive atau menurun omzetnya.

Banyak dari mereka yang yang kehilangan pekerjaan mengharapkan JHT sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini.

Apalagi JHT bukanlah dana dari Pemerintah, melainkan hak pekerja pribadi karena berasal dari kumpulan potongan gaji para pekerja atau karyawan yang ikut BPJS ketenagakerjaan.

Aturan baru yang dinilai terlalu terburu-buru ditetapkan ini juga memunculkan spekulasi apakah sebenarnya BPJS Ketenagakerjaan saat ini memang tidak cukup memiliki dana untuk membayar klaim JHT bila dilakukan penarikan secara bersamaan?

Sesuai amanat UU No. 24 Tahun 2011, BPJS wajib memisahkan pengelolaan aset jaminan sosial menjadi dua jenis pengelolaan aset yaitu aset BPJS dan aset Dana Jaminan Sosial (DJS).

Dalam Undang-Undang tersebut juga ditegaskan bahwa aset DJS bukan merupakan aset BPJS. Penegasan ini untuk memastikan bahwa Dana Jaminan Sosial merupakan dana amanat milik seluruh peserta dan tidak tercampur dengan aset BPJS.

Foto suasana pelayanan di kantor BPJS, Sumber: bisnis.tempo.co
Foto suasana pelayanan di kantor BPJS, Sumber: bisnis.tempo.co

ASET BPJS

Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2011, Pasal 41 ayat (1), Aset BPJS bersumber dari :

  • Modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. (dari APBN)
  • Hasil pengalihan aset BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial.
  • Hasil pengembangan aset BPJS.
  • Dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial.
  • Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Aset BPJS  dapat digunakan untuk (Pasal 41 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2011):

  • Biaya operasional penyelenggaraan program jaminan sosial.
  • Biaya pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk mendukung operasional penyelenggaraan jaminan sosial.
  • Biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan.
  • Investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

ASET DJS

Dana Jaminan Sosial (DJS) adalah dana amanat milik peserta jaminan sosial yang terdiri dari himpunan iuran jaminan sosial dan hasil pengembangannya.  Aset DJS dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial.

BPJS Ketenagakerjaan mengelola empat aset dana jaminan sosial, yaitu aset dana jaminan kecelakaan kerja, aset dana jaminan hari tua, aset dana jaminan pensiun, dan aset dana jaminan kematian.

BPJS dilarang menyubsidi silang antarprogram dengan membayarkan manfaat suatu program dari dana program lain.

BPJS wajib menyimpan Dana Jaminan Sosial pada bank kustodian yang berbadan hukum BUMN (Badan Usaha Milik Negara) (Pasal 40 ayat (4) UU No. 24 Tahun 2011).

Aset Dana Jaminan Sosial (DJS) bersumber dari (Pasal 43 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2011):

  • Iuran jaminan sosial, termasuk bantuan iuran.
  • Hasil pengembangan Dana Jaminan Sosial.
  • Hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak peserta dari BUMN yang menyelenggarakan program jaminan sosial.
  • Sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Aset Dana Jaminan Sosial digunakan untuk (Pasal 43 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2011):

  • Pembayaran manfaat atau pembiayaan layanan jaminan sosial.
  • Biaya operasional penyelenggaraan program jaminan sosial.
  • Investasi dalam instrumen investasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Diagram Aset Jaminan Sosial, Sumber: jamsosindonesia.com
Diagram Aset Jaminan Sosial, Sumber: jamsosindonesia.com

Ketentuan investasi Dana Jaminan Sosial adalah sebagai berikut:

  • Menerapkan manajemen risiko
  • Mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai
  • Pengembangan aset DJS wajib memperhatikan karakter kewajiban dari program jaminan sosial yang dikelola
  • Instrumen investasi aset BPJS dibatasi pada  instrumen investasi pasar uang, pasar modal, dan investasi langsung
  • Penempatan dana dibatasi pada instrumen investasi dalam negeri.
  • BPJS dilarang berinvestasi berupa surat utang korporasi dan saham yang emitennya merupakan badan hukum asing
  • Bila terjadi jumlah investasi melebihi batasan yang ditentukan karena terjadi kenaikan dan/atau penurunan nilai surat berharga, BPJS Kesehatan wajib menyesuaikan kembali jumlah investasi dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak terjadinya kelebihan tersebut
  • BPJS Kesehatan wajib menyesuaikan jumlah investasi bila jumlah investasi melebihi batasan yang ditentukan karena terjadi kenaikan dan/atau penurunan surat berharga yang diterbitkan Pemerintah, dalam jangka waktu paling lama 3 bulan.
  • BPJS Ketenagakerjaan wajib menyesuaikan jumlah investasi bila jumlah investasi melebihi batasan surat berharga paling lama 1 tahun

Instrumen Investasi

Tabel di bawah ini memaparkan instrumen investasi dan batasannya

Tabel instrumen investasi dan batasan, Dana Jaminan Sosial, Sumber: jamsosindonesia.com
Tabel instrumen investasi dan batasan, Dana Jaminan Sosial, Sumber: jamsosindonesia.com

Total dana investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp 487,1 triliun pada 2020. Jumlah itu meningkat 12,7% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 432 triliun.

Hasil dari investasi tersebut tercatat sebesar Rp 32,3 triliun pada 2020. Jumlah itu naik 10,6% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 29,2 triliun. Rata-rata imbal hasil hampir mencapai 7%, jauh lebih besar bunga bank ataupun deposito.

Tingkat kesehatan keuangan BP Jamsostek yang aman dan sehat ini juga sesuai dengan hasil audit LK-LPP BP Jamsostek untuk tahun 2020 yang disampaikan kepada publik pada tanggal 31 Juli 2021.

Laporan Keuangan diaudit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) Razikun Tarkosunaryo (member of MSI Global Alliance) dengan opini WTM (Wajar Tanpa Modifikasian).

Ketua Dewan Pengawas BP Jamsostek, Muhammad Zuhri, memberikan apresiasi kepada manajemen BP Jamsostek atas penyampaian Laporan Keuangan yang dilakukan lebih cepat dari tahun-tahun sebelumnya.

Aset Dana Jaminan Sosial (DJS) terdiri dari Dana Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) tumbuh hingga 13%.

Pertumbuhan aset ini cukup luar biasa mengingat terjadinya peningkatan klaim JHT hingga 22% selama tahun 2020, sebagai dampak dari pandemi Covid-19, dan adanya kebijakan Relaksasi Iuran dengan potongan hingga 99% selama 6 bulan.

Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek, Anggoro Eko Cahyo mengatakan bahwa BP Jamsostek mengutamakan pengelolaan dana yang bersih dan akuntabel.

"Sepanjang tahun, selain diawasi oleh KAP independen, kami juga diawasi secara ketat oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dan Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Hal ini dilakukan semata-mata untuk meyakinkan seluruh peserta dan stakeholder bahwa dana peserta yang sangat besar dikelola dengan sangat baik, prudent dan transparan untuk dikembalikan kepada peserta dengan hasil yang optimal," tutur Anggoro.

Meskipun kinerja keuangan BP Jamsostek sangat aman dan sehat, namun di sisi lain masyarakat mungkin masih trauma dengan kasus penyalahgunaan dana investasi karena bagaimanapun investasi itu berisiko tinggi dan resiko tersebut tidak mungkin dihilangkan sama sekali.

Bila bukan karena kekurangan dana lantas apa yang menyebabkan aturan baru JHT cair umur 56 tahun yang kesannya terburu-buru diterbitkan?

Salah satu alasannya adalah karena jumlah klaim Jaminan Hari Tua (JHT) yang meningkat tajam selama masa Pandemi ini. Ada dua penyebab utama peserta mengajukan klaim JHT yaitu pengunduran diri dan terkena PHK.

Sebenarnya wajar saja jumlah klaim JHT meningkat tajam selama masa Pandemi, namun kalau kita melihat data statistik klaim JHT ini, 70% dari saldo yang diklaim itu adalah di bawah Rp 10 juta dan 40% di antaranya saldo di bawah Rp 5 juta.

Dan bila dilihat dari sisi umur yang mengajukan klaim didominasi 46% usia di bawah 30 tahun. Artinya mereka adalah orang-orang atau pekerja yang masih yang produktif.

Padahal orang-orang yang masih produktif ini diharapkan dapat segera mendapatkan perkerjaan kembali melalui program JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) meskipun prosesnya cukup rumit dan butuh waktu. Dengan demikian JHT dapat dikembalikan seperti tujuan semula sebagai program jangka panjang.

Demikian yang disampaikan oleh Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek Anggoro Eko Cahyo dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR RI, Senin (15/11 2021).

Selain itu ada beberapa alasan seperti JHT sebenarnya tidak 100% hanya bisa dicairkan setelah mencapai umur 56 tahun. Ada bagian sebesar 30% yang bisa diklaim untuk perumahan dan 10% untuk manfaat lainnya secara tunai tanpa menunggu usia 56 tahun.

Pro dan kontra yang terjadi saat ini disebabkan sudut pandang yang berbeda antara pemerintah dan pekerja karena kepentingan masing-masing. Namun demikian diharapkan ada titik temu atau win-win solution sebelum aturan ini berlaku secara resmi tiga bulan sejak tanggal diundangkan, yaitu 2 Mei 2022.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun