Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pajak Karbon Mulai Diterapkan di Indonesia Tahun 2022, Dapatkah Kita Menolaknya?

17 Desember 2021   20:40 Diperbarui: 27 Desember 2021   10:46 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pajak karbon (Sumber: Shutterstock/NadyGinzburg)

Akhir-akhir ini istilah pajak karbon mulai sering dibicarakan, namun banyak yang belum paham apa sebenarnya yang dimaksud dengan pajak karbon. Apakah ini jenis baru dari pajak yang akan diterapkan oleh pemerintah? Obyek pajak seperti apa yang dikenakan pajak tersebut? Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "karbon" itu dan bagaimana bentuknya?

Tentu saja pertanyaan di atas adalah pertanyaan awam mengenai pajak karbon yang saat ini mulai diimplementasikan di banyak negara di seluruh Dunia. Meskipun demikian banyak juga juga yang belum paham makna sebenarnya.

Pengertian pajak karbon secara sederhana adalah suatu "denda" yang harus dibayar oleh suatu badan atau organisasi karena mereka telah "mengotori" atmosfer bumi dengan asap/gas CO2 atau Karbon dioksida.

Mengapa mereka perlu di-"denda"? Karena ulah mereka mengotori atmosfer bumi dengan gas CO2 telah menyebabkan gas CO2 terakumulasi dan terjebak di atmosfer bumi sehingga menghalangi panas sinar matahari keluar dari atmosfer bumi. Inilah yang menyebabkan pemanasan bumi atau pemanasan global.

Apakah gas CO2 yang terperangkap di dalam atmosfer bumi bisa dihilangkan atau dikurangi jumlahnya? 

Tentu saja bisa, yaitu dengan menanam pohon sebanyak-banyaknya. Dengan demikian daun dari pohon tersebut akan menyerap gas CO2 pada saat proses fotosintesa.

Semakin banyak pohon yang ditanam semakin banyak gas CO2 dari atmosfer yang diserap oleh tanaman menjadi gas oksigen yang menyehatkan. Namun masalahnya jumlah pohon di seluruh dunia bukannya bertambah justru dalam beberapa kasus malahan berkurang karena kebakaran hutan, penebangan hutan, pohon-pohon yang sudah tua dan mati dan masih banyak lagi penyebab lainnya.

Jadi bisa dibayangkan bila jumlah pohon di dunia ini berkurang sementara aktifitas manusia yang menghasilkan gas CO2 justru meningkat terutama karena pembakaran bahan bakar fosil, maka semakin lama bumi akan semakin panas karena akumulasi gas CO2 di atmosfer.

Untuk mencegah pemanasan bumi maka gas CO2 yang terakumulasi di atmosfer bumi harus dikurangi, minimal dipertahankan pada level yang sama dengan saat ini. Hal ini bisa dicapai dengan upaya yang disebut sebagai Net-Zero Emission. 

Artinya Emisi gas CO2 yang dilepaskan ke atmosfer bumi harus sama dengan gas CO2 yang bisa diserap oleh tanaman hijau. Selisihnya harus nol.

Dalam kemajuan teknologi yang semakin pesat saat ini justru kebutuhan akan alat transportasi, listrik dan energi semakin hari semakin besar. 

Dengan demikian pembakaran bahan bakar fosil untuk kebutuhan di atas juga semakin besar sehingga kalau kondisi ini dibiarkan maka akumulasi gas CO2 akan meningkat tajam dalam waktu singkat.

Oleh karena itu berbagai upaya untuk mengerem laju pertambahan gas CO2 di atmosfer bumi dilakukan oleh seluruh masyarakat dunia yang sadar akan bahaya yang mengancam kehidupan umat manusia di muka bumi akibat pemanasan global.

Ilustrasi Polusi yang diakibatkan kegiatan industri di India | Sumber: japantimes.com
Ilustrasi Polusi yang diakibatkan kegiatan industri di India | Sumber: japantimes.com

Sejak akhir Revolusi Industri pertama tahun 1850 sampai hari ini kenaikan suhu bumi terus berlangsung dan lajunya semakin cepat akhir-akhir ini. 

Menurut para ahli iklim dunia bila kenaikan suhu bumi melampaui 2 derajat Celcius akan menyebabkan berbagai bencana akibat perubahan iklim yang ekstrem dan kenaikan permukaan air laut yang mengancam kehidupan manusia.

Berdasarkan Perjanjian Iklim Paris tahun 2015 yang kemudian dipertegas pada konferensi iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia tahun 2021 ini, seluruh negara-negara di dunia sepakat untuk membatasi kenaikan suhu rata-rata global maksimum 1,5 derajat Celsius.

Saat ini, kenaikan suhu bumi telah mencapai sekitar 1,1 derajat Celsius dihitung sejak akhir revolusi industri tahun 1850. Sementara laju kenaikan suhu bumi terus berlangsung dan makin cepat sehingga diperlukan upaya yang serius untuk menurunkan laju kenaikan saat ini.

Secara global, Target jangka pendek adalah menurunkan emisi CO2 global pada tahun 2030 sebesar setengah dari emisi CO2 pada tahun 2010. 

Target jangka panjang adalah Net-Zero Emission atau emisi karbon bersih (yang dilepas dan diserap) mencapai nol pada tahun 2050.

Sementara itu Target Nasional kita adalah pada tahun 2030 emisi CO2 turun sebesar 29% dan pencapaian Net-Zero Emission direncanakan pada tahun 2060 atau lebih awal.

Untuk mencapai target penurunan emisi CO2 global tentu bukan hal yang mudah. Sejak dicanangkan pada tahun 2015 dalam "Perjanjian Paris" targetnya adalah menurunkan emisi gas CO2 secara global sampai 50% di tahun 2030. Namun faktanya selama tahun 2015 sampai tahun 2021 ini, emisi CO2 bukannya turun tapi malahan naik sebesar 16%.

Sebenarnya penyumbang emisi karbon terbesar dunia adalah negara industri maju dan besar seperti China (28%), Amerika Serikat (15%), India (6%), Rusia (5%) dan Jepang (4%). 

Kemudian disusul oleh Jerman dan Korea Selatan masing-masing sekitar 2%. Sementara Indonesia hanya menyumbang sebesar 1.6%.

Jadi bila ingin menurunkan emisi CO2 global secara signifikan, maka kita seharusnya lebih fokus pada 5 besar atau 10 besar negara penghasil emisi CO2 dunia.

Namun demikian pada periode sebelum ini, negara-negara seperti China dan Amerika Serikat justru tidak mau mematuhi "Perjanjian Paris" karena ketergantungan mereka terhadap bahan bakar fosil sangat tinggi sementara untuk mengganti bahan bakar fosil seperti minyak dan batubara dengan bahan bakar yang terbaharukan dibutuhkan biaya dan usaha (riset) yang luar biasa besarnya.

Oleh karena agar seluruh masyarakat dunia mau berubah sebagai upaya menyelamatkan bumi maka diterapkan aturan polluters-pay principle. 

Berdasarkan aturan atau prinsip ini maka penghasil polutan (polluters) harus membayar harganya atau semacam denda yang kita sebut dengan pajak karbon.   

Sebenarnya beberapa negara Eropa sudah menerapkan pajak karbon sejak tahun 1990-an, yaitu sejak konferensi iklim PBB pertama digelar pada tahun 1990. Berikut ini negara-negara yang telah menerapkan pajak karbon di seluruh dunia.

Negara-negara yang telah menerapkan Pajak Karbon, Sumber: data diolah
Negara-negara yang telah menerapkan Pajak Karbon, Sumber: data diolah

Negara pertama yang menerapkan pajak karbon adalah Finlandia sejak tahun 1990, kemudian diikuti oleh Swedia dan Denmark pada tahun-tahun berikutnya. Negara-negara skandinavia ini merupakan salah satu masyarakat dunia yang paling peduli dengan pemanasan global.

Indonesia berencana menerapkan pajak karbon mulai tahun depan (2022) dengan tarif sebesar Rp 30/kilogram CO2 atau setara USD 2,1 per ton CO2. Mengapa tarif pajak karbon yang diterapkan setiap negara berbeda-beda dan bagaimana cara menghitungnya?

Secara sederhana perhitungan pajak karbon didasarkan pada keuntungan bersih suatu unit usaha kemudian dibagi dengan emisi karbon yang dihasilkan biasanya dalam satuan ton-CO2 dalam periode yang sama.

Setiap perusahaan hasilnya pasti berbeda-beda. Secara Nasional penetapan tarif pajak karbon tergantung dari kebijakan masing-masing negara. Bisa ditetapkan didasarkan pada nilai rata-rata dari seluruh perusahaan dalam satu negara atau bisa juga ditetapkan dari yang paling kecil selanjutnya dievaluasi secara berkala.

Sesuai dengan tujuan awal, pemasukan dari pajak karbon ini dialokasikan untuk mendukung upaya riset mengurangi emisi CO2 atau untuk mencari pengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang rendah emisi atau yang ramah lingkungan.

Namun tidak selalu semua pemasukan pajak karbon dialokasikan untuk kegiatan yang langsung mendukung upaya penurunan emisi CO2. Beberapa negara menggunakan pajak karbon untuk mengurangi pajak korporasi atau pajak penghasilan karyawan.

Indonesia, dalam hal ini menerapkan skema Pajak Karbon ke dalam kebijakan fiskal melalui Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim. 

Kebijakan ini didasarkan pada strategi pembiayaan perubahan iklim, misalnya melalui penggunaan skema pendanaan publik (APBN/APBD) atau skema inovatif lainnya.

Dengan skema ini perusahaan atau badan usaha dapat melakukan upaya penurunan emisi CO2 secara mandiri, baik melalui penggunaan teknologi maupun dengan mencari pengganti sumber energi fosil dengan sumber energi yang terbaharukan.

Penurunan emisi ini dapat dikonversikan ke nilai uang dengan cara menghitung selisih emisi sebelum dan sesudah dilakukan tindakan dalam ton-CO2 dikalikan tarif pajak karbon. Nilai uang ini dapat digunakan untuk mengurangi pajak karbon yang harus dibayar.

Implikasi dari penerapan karbon pajak ini adalah harga barang akan naik karena semua keuntungan dari suatu unit usaha setara dengan besaran pajak karbon yang harus dibayar sehingga mereka membebankan pajak tersebut kepada konsumen dalam bentuk kenaikan harga jual produk.

Meskipun menyebabkan ekonomi biaya tinggi, kedepannya penerapan pajak karbon untuk mencegah pemanasan global harus dipilih karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Pemanasan global dapat menyebabkan kerusakan bumi dan mengancam kelangsungan hidup umat manusia.

Langkah pemerintah Indonesia dalam memasukkan skema pajak karbon ke dalam kebijakan fiskal melalui Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim adalah untuk meminimalkan risiko penerapan pajak karbon terhadap perekonomian Indonesia.

Di sisi lain, bila pemerintah tidak segera menerapkan kebijakan pajak karbon, maka secara jangka panjang akan merugikan ekonomi Indonesia karena tekanan masyarakat dunia semakin kuat bagi mereka yang tidak mematuhi upaya penurunan emisi karbon.

Salah satu bentuk tekanan atau sangsinya adalah produk-produk dari Indonesia akan ditolak oleh negara-negara yang peduli dengan dampak pemanasan global. 

Selain itu sangsi sosial seperti dikucilkan dari pergaulan masyarakat internasional kemungkinan juga akan dialami oleh negara yang tidak mau berkontribusi untuk mengurangi emisi karbon secara global..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun