Pertama, karena yang berjualan banyak sehingga kita bisa memilih yang tampilannya sesuai selera kita. Kedua karena jalan Dhoho itu dekat dengan rumah orang tua saya di Kampung Dalem, sebelahnya alun-alun kota Kediri.
Waktu saya masih kuliah di Surabaya, setiap awal bulan biasanya pulang ke Kediri naik bus. Karena bus tidak melewati tengah kota, biasanya saya turun di perempatan nabatiyasa dekat kantor Walikota Kediri, dari situ jalan lurus saja sekitar 300 meter sudah sampai di ujung jalan Dhoho di sekitar perempatan Bank Indonesia.Â
Namun diujung jalan itu masih relatif sepi orang yang berjualan, baru kira-kira ditengah-tengah jalan Dhoho arah yang ke Stasiun kota Kediri yang jualan mulai banyak.
Sepanjang jalan dari perempatan nabatiyasa sampai ke rumah saya, eh.. rumah orang tua saya, total jaraknya sekitar 1.5 km. Ditengah-tengah perjalanan itu atau tepatnya di jalan Dhoho malam itu banyak penjual pecel khas Kediri yang menyambut kedatangan saya pulang kampung.Â
Sebenarnya sih, para penjual sibuk melayani pembeli masing-masing dan tidak peduli saya sedang lewat di sana dalam perjalanan pulang kampung, cuma saya merasa bahagia seperti ada yang menyambut.
Menikmati nasi pecel di emperan toko di jalan Dhoho menjelang tengah malam rasanya sangat nikmat, bahkan jauh lebih nikmat dibanding kalau sekarang saya mengulanginya. Bukan apa-apa karena saat itu saya masih muda, sedang kuliah di Perguruan Tinggi Teknik yang sama dengan "cak Lontong", di jurusan favorit yang nantinya akan menjadi seorang insinyur... masa depan gemilang seolah sudah menanti di depan mata. Ada perasaan bangga, arogan, sombong campur aduk menjadi satu dengan citarasa pecel tumpang khas Kediri. Pengalaman yang tidak bisa diulang, yah.. tidak akan pernah sama.
When the world was young.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H