Tidak jarang, "impression" ini lebih berpengaruh kuat dalam menentukan perjalanan karir seorang karyawan dibanding penilaian kuantitatif dan kualitatif.
Sebagai contoh Budi, seorang staff dengan kemampuan biasa-biasa, tidak terlalu cemerlang dari sisi akademis. Pada suatu hari terjadi "trouble" ditempat kerjanya sehingga semua staff dan karyawan harus bahu membahu untuk mengatasi trouble tersebut. Setelah berjam-jam trouble bisa dikendalikan dan produksi dapat berjalan normal kembali.
Satu per satu rekan kerja Budi pulang karena pekerjaan sudah bisa ditinggal dan jam pulang sudah lewat beberapa jam. Budi yang kebetulan malam itu tidak ada kegiatan di rumah memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama sambil memastikan mungkin ada hal yang terlewatkan dari sisi operasional paska "trouble" tadi.
Rupanya keberadaan Budi paska trouble di tempat kerja diperhatikan oleh manajer dari departemen lain, Budi dianggap staf yang berdedikasi tinggi dan kesan ini menyebar di tempat kerja Budi.Â
Selanjutnya bila ada trouble yang terjadi di tempat kerja, Budi lebih dipercaya dan diberi tanggung jawab yang lebih dari atasannya. Hal ini semakin membuat Budi lebih termotivasi untuk bekerja lebih baik dan menjaga citranya sebagai karyawan yang rajin dan penuh tanggung jawab.
Kesan positif atas sikap Budi tersebut membuat manajemen percaya bahwa dia layak diberi tanggung jawab yang lebih atau dipromosikan.
Budi yang tidak menyangka akan secepat itu mendapatkan promosi semakin giat bekerja dan menjaga citra diri sebagai staf yang berdedikasi tinggi.
Singkat kata karier Budi terus melesat dan mencapai posisi puncak di perusahaan tersebut.
Kisah ini hanya sebuah contoh bahwa pencitraan atau membangun citra diri yang positif dapat melejitkan karir dan tidak selalu pencitraan itu berkonotasi negatif.
Contoh membangun citra diri yang positif juga ditunjukkan oleh pak Jokowi pada saat beliau masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Masalah utama yang dihadapi DKI Jakarta saat itu adalah banjir yang melanda setiap puncak musim hujan.