Beberapa hari belakangan ini isu bahwa maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia, Garuda Indonesia dikabarkan akan mengalami kepailitan dan di tutup.
Berita ini bukannya tanpa dasar, pasalnya saat ini kinerja keuangan Garuda berdarah-darah. Per Juni 2021, hutang Garuda Indonesia tercatat sebesar 4,9 miliar USD atau setara Rp 70 triliun. Angka tersebut semakin meningkat karena tunggakan dan bunga terus berjalan sementara biaya operasional masih minus.
Kondisi ini diperparah dengan kinerja perseroan yang terus merugi akibat pandemi Covid-19 yang berimbas pada perjalanan udara menjadi terbatas dan jumlah penumpang anjlok drastis. Garuda sejauh ini sudah melakukan PHK hingga pengembalian pesawat pada lessor namun masih belum cukup untuk menutup biaya operasional.
Wacana bahwa Garuda akan dibiarkan pailit atau tutup ini juga diperkuat oleh pernyataan Presiden Jokowi bahwa BUMN yang sakit parah agar ditutup saja. Pernyataan Presiden Jokowi inilah yang diterjemahkan oleh pihak-pihak tertentu bahwa Pemerintah akan  cenderung akan lepas tangan dan membiarkan Garuda pailit dan tutup.
Apakah benar Garuda memang sengaja dibiarkan pailit dan tutup ?
Faktanya, saat ini Garuda Indonesia tengah menghadapi sidang gugatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang bisa berujung status pailit.
Garuda Indonesia diketahui beberapa kali melakukan penundaan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo kepada para krediturnya. Utang akan semakin membengkak karena di sisi lain perhitungan bunga terus berjalan
Dari sisi operasional Garuda juga masih merugi, pada bulan Mei 2021 Garuda Indonesia hanya memperoleh pendapatan sekitar 56 juta USD, sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar sewa pesawat 56 juta USD, perawatan pesawat 20 juta USD, bahan bakar avtur 20 juta USD, dan gaji pegawai 20 juta USD. Sehingga total masih minus 60 juta USD.
Garuda Indonesia juga digugat pailit oleh salah satu lessornya, Aercap Ireland Limited. Aercap mengajukan gugatan pailit tersebut pada 4 Juni 2021 di Supreme Court negara bagian New South Wales, Australia. Meski kemudian gugatan tersebut dicabut kembali karena adanya kesepakatan baru antara Aercap dengan Garuda.Â
Dalam kasus gugatan lainnya, Garuda Indonesia harus menerima kekalahan dalam kasus gugatan dari Lessor Helice dan Atterisage (Goshawk) di Pengadilan Arbitrase Internasional (London (London Court International Arbitration), LCIA, pada tanggal 6 September 2021.
Menurut Menteri BUMN Erick Thohir, salah satu masalah yang mempengaruhi keuangan Garuda Indonesia adalah terkait lessor. Maskapai ini tercatat bekerja sama dengan 36 lessor.Â
Sebagian lessor tersebut diduga terlibat dalam tindakan koruptif dengan manajemen lama. Oleh karena itu, pemetaan diperlukan untuk mengetahui lessor yang bertindak nakal guna dilakukan negosiasi yang tepat.
Saat ini negosiasi dan komunikasi dengan para kreditur masih terus berjalan guna mencapai penyelesaian terbaik dan restrukturisasi yang optimal untuk menyelamatkan Garuda Indonesia dari kebangkrutan.
Dalam proses negosiasi ini wajar bila kedua belah pihak saling melakukan "psywar" untuk mendapatkan posisi tawar yang lebih baik. Para kreditur atau lessor berharap agar pemerintah Indonesia selaku pemegang saham utama mau menyuntikan dana agar Garuda dapat membayar hutang-hutangnya.
Sementara itu Pemerintah juga mengambil sikap yang tegas dan tidak mau didikte oleh para lessor. Biasanya pemerintah memang akan sedikit "jaim" dan berusaha untuk menyelamatkan maskapai flag carrier karena merupakan salah satu ikon kebanggan bangsa Indonesia. Namun pemerintahan Jokowi kali ini kelihatannya tidak tidak terlalu "jaim" dan bersikap lugas dan pragmatis dengan lebih mempertimbangan sisi ekonomi daripada gengsi.
Sikap tegas ini merupakan sinyal agar para lessor tidak mengambil keuntungan ditengah krisis yang dihadapi Garuda. Dengan kondisi pandemi covid-19 saat ini semestinya resiko bukan hanya ditanggung oleh Garuda namun juga para kreditur.
Namun bila kreditur tetap bersikukuh untuk menekan Garuda dan tidak mau ambil bagian menanggung resiko yang ada maka pemerintah juga sudah menyiapkan resiko terburuk yaitu membiarkan Garuda pailit dan tutup, dan menyiapkan maskapai baru sebagai penggantinya.
Namun demikian "psywar" kali ini masih baru masuk babak awal, pertarungan akan semakin memanas karena para kreditur juga tidak mau tinggal diam. Mereka menggugat Garuda bertubi-tubi melalui badan arbitrase Internasional.
Dalam hal ini pemerintah harus sangat serius dalam menyiapkan tim konsultan dan tim lawyer yang tangguh untuk menghadapi gugatan para lessor. Dalam beberapa kasus Garuda sering kalah di pengadilan arbitrase internasional, ini harus menjadi perhatian yang serius bagi pemerintah agar jangan sampai Garuda dijadikan "bancakan" oleh para lessor.
Berdasarkan laporan keuangan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk terbaru, per 30 Juni 2021, ekuitas perusahaan tercatas sebesar minus 2.8 miliar USD, membengkak dibanding tri-wulan sebelumnya, per 31 Maret 2021 sebesar minus 2.3 miliar USD, dan per 31 Desember 2020 sebesar minus 1.9 miliar USD. Ini artinya dalam 6 bulan terakhir defisit yang dialami Garuda terus membesar.
Seandainya saat ini Garuda pailit dan ditutup, dan seluruh asset perusahaan dijual tidak akan cukup untuk membayar semua kewajiban perusahaan, masih kurang sekitar 2.8 miliar USD atau sekitar 40 triliun rupiah.
Dengan kondisi saat ini, dimana sektor ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, khususnya disektor penerbangan komersil maka bila pemerintah menalangi hutang Garuda sebesar 40 trilun rupiah maka uang sebesar itu akan sia-sia. Pertama karena Garuda masih merugi terus sehingga hutangnya juga terus bertambah. Kedua kondisi ekonomi ke depan yang masih belum menentu akan sangat sulit bagi Garuda untuk bisa recovery dan mencetak keuntungan dalam waktu singkat.
Mungkin pemerintah juga telah mempertimbangkan hal-hal diatas sehingga muncul pernyataan dari Presiden Jokowi bahwa BUMN yang sakit parah agar ditutup saja. Apakah ini hanya sekedar "psywar" atau memang serius yang jelas negosiasi masih terus berlangsung dan masing-masing pihak pasti sudah menyiapkan skenario "optimistic case" dan "pessimistic case".
Hope for the best,
Prepare for the worst,
and Take what comes...
(Anonymous)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H