Mohon tunggu...
Rudy Subagio
Rudy Subagio Mohon Tunggu... Lainnya - Just ordinary people, photograph and outdoors enthusiast, business and strategy learner..

Hope for the Best...Prepare for the Worst ...and Take what Comes. - anonymous- . . rudy.subagio@gmail.com . . Smada Kediri, m32 ITS, MM48 Unair

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Strategi Bisnis Rintisan dari Jor-joran Diskon Sampai Bakar Uang dan Relevansinya di Masa Krisis Pandemi

29 Agustus 2021   18:23 Diperbarui: 30 Agustus 2021   12:41 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Mengorbankan Pohon Plum demi Pohon Persik"

(pepatah China)

Mengorbankan Pohon Plum demi Pohon Persik merupakan siasat No. 11 dalam buku "36 Strategi Perang China Kuno". Pohon Plum dan pohon Persik merupakan tanaman satu marga, yang membedakan ukuran buahnya, buah plum kecil-kecil sedangkan buah persik lebih besar. Arti siasat ini adalah terkadang orang harus melakukan pengorbanan demi kemenangan yang lebih besar.

Dalam dunia bisnis siasat ini sering dilakukan oleh perusahaan dalam rangka membangun pasarnya. Salah satu contoh kasus yang tidak akan pernah dilupakan oleh industri semikonduktor Amerika Serikat adalah ketika Texas Instrument memberikan harga rendah pada produknya sehingga harus menanggung kerugian pada tahap awal pengembangan pasar. 

Namun pada akhirnya perusahaan memperoleh keuntungan manakala para pesaingnya gulung tikar, dan sampai saat ini Texas Instrument berhasil menjadi pemimpin pasar di industri ini .

Di masa krisis karena pandemi saat ini, banyak perusahaan, terutama perusahaan rintisan atau perusahaan yang baru berdiri berlomba memberikan diskon dan menurunkan harga produknya sampai titik impas sehingga tidak ada untung bahkan mungkin rugi dalam rangka menggaet konsumen atau merebut pasar. 

Hal ini memicu perang harga yang mengarah pada hukum rimba dimana akhirnya yang kuat yang akan menjadi pemenang.

Pada perusahaan rintisan konvensional, apalagi yang skala menengah ke bawah, sangat disarankan untuk menghindari perang harga atau perang diskon. 

Pertama karena perang harga ini sangat kejam, awalnya mungkin harga masih masuk akal dan masih menguntungkan, namun dalam perjalanannya pesaing akan menurunkan harga untuk merebut pasar demikian seterusnya sampai harga menjadi tidak masuk akal dan laba menjadi minus. 

Kedua karena perusahaan menengah kebawah modalnya juga lebih kecil dibanding perusahaan besar sehingga sulit bersaing dengan perusahaan yang modalnya besar, karena dalam perang harga yang kuat yang akan menang.  

Strategi yang tepat pada perusahaan konvensional menengah kebawah adalah strategi Samudra Biru, dimana perusahaan harus berusaha menciptakan pasar baru untuk menghindari persaingan di Samudra Merah yang berdarah-darah. Menciptakan pasar baru adalah wajib hukumnya agar kita bisa keluar dari persaingan yang tidak sehat. 

Menciptakan pasar baru bisa dimulai dari ide-ide sederhana namun sebenarnya diperlukan oleh konsumen yang selama ini belum terungkap dan belum dipenuhi oleh pemain lain.

Selain strategi Samudra Biru, bagi perusahaan rintisan konvensional biasanya harus mempertimbangkan 4L, yaitu Low investment, Low cost, Long term dan Loyalty. 

Sebaik apapun prospek sebuah bisnis tetap memiliki resiko gagal, oleh karena itu pada saat memulai sebuah usaha maka investasi awal harus dibuat sekecil mungkin, kalau bisa nol dengan menjalin kerjasama dengan pihak lain dan jeli melihat peluang yang ada. 

Prinsip kedua perusahaan harus beroperasi dengan sangat efisein sehingga biaya produksi juga rendah (Low Cost). Selanjutnya perusahaan juga harus berpikir jangka panjang (Long term), khususnya dalam menetapkan harga jual. 

Diawal biasanya mereka mengambil untung yang kecil, namun sampai berapa lama ini dilakukan harus mempertimbangkan kemampuan bertahan perusahaan dalam jangka panjang termasuk cash flow dan kekuatan modal. Terakhir adalah Loyalty, artinya perusahaan harus menjaga loyalitas pelanggan dengan cara memberikan nilai yang terbaik dan harga yang terbaik.

Berbeda dengan perusahaan rintisan konvensional, perusahaan rintisan teknologi digital mempunyai "masa depan" yang tidak bisa dibayangkan untuk saat ini. 

Nilai perusahaan di masa depan dibawa ke saat ini sehingga banyak faktor yang masih sebatas asumsi turut serta mengangkat nilai dari perusahaan saat ini. Untuk memberikan kesan bahwa perusahaan ini sedang bertumbuh salah satu indikatornya adalah pertumbuhan pengguna atau user. 

Oleh karena itu berbagai cara dilakukan untuk meningkatkan jumlah pengguna termasuk memberikan diskon besar-besaran, bahkan berani rugi di depan agar pengguna bertambah. Pertumbuhan pengguna ini akan mengangkat valuasi perusahaan berlipat-lipat dimata investor dengan demikian harga saham perusahaan meningkat jauh diatas asset riil perusahaan.

Beberapa perusahaan rintisan teknologi cukup sukses menerapkan strategi ini, diantaranya yaitu Bukalapak. Berdasarkan laporan keuangan Bukalapak, dalam tiga tahun terakhir mereka membukukan kerugian berturut-turut sebesar 1,3 triliun pada tahun 2020, rugi sebesar 2,8 triliun pada tahun 2019 dan pada tahun 2018 rugi Rp 2,2 triliun. 

Aset Bukalapak pada tahun 2020 sebesar 2,5 triliun, dengan laba minus 1,3 trilun maka Return on Asset (ROA) adalah minus 52%. Namun demikian Bukalapak suskes melakukan IPO, dengan asset yang "hanya" 2,5 triliun mereka berhasil menjual 25% dari saham mereka seharga 21,9 trilun, atau seluruh saham perusahaan setara dengan 87,6 trilun. 

Sehingga secara fundamental perbandingan aset perusahaan dengan kapitalisasi pasar saham adalah 1:35, atau nilai perusahaan di pasar saham sama dengan 35 kali asetnya. Dan yang luar biasa, beberapa hari setelah IPO harga saham mereka sempat meroket meskipun saat ini sudah terkoreksi.

Melihat fenomena Bukalapak diatas, tidak mengherankan bila perusahaan rintisan teknologi berani "bakar uang" dan menanggung kerugian selama bertahun-tahun dengan tujuan membangun valuasi perusahaan, dan valuasi perusahaan inilah nantinya yang akan dihargai di pasar saham, bukan jumlah aset atau laba perusahaan. 

Berbeda dengan perusahaan konvensional, perusahaan rintisan teknologi memang menjual "harapan di masa datang" dan juga "intengible asset" yang nilainya sulit untuk diukur secara kasat mata. Selain itu secara umum perusahaam rintisan teknologi merupakan perusahaan yang diuntungkan di masa pandemi ini.

Meskipun kelihatannya perusahaan rintisan teknologi sangat menjanjikan dilihat dari lompatan nilai kapitalisasi saham dan relatif tidak terpengaruh dengan krisis di masa pandemi, namun pada masa-masa awal pertumbuhannya mereka menghadapi persaingan yang tidak mudah. Dari ratusan dan mungkin ribuan perusahaan rintisan teknologi di tanah air, yang berhasil masuk ke jajaran perusahaan unicorn bisa dihitung dengan jari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun