Mohon tunggu...
Rudy Bastam
Rudy Bastam Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis untuk mengingat

Alumnus HI Unair Ex Kuli Tinta Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Stadion Batakan, Ujian Kedewasaan Suporter Indonesia

9 September 2017   22:52 Diperbarui: 10 September 2017   21:23 9004
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stadion Batakan (via indosport.com)

Hari ini (9/9) di linimasa instagram, banyak berseliweran unggahan foto Stadion Batakan dari dalam. Maklum saja hari ini Stadion Batakan menggelar pertandingan pertamanya antara Persiba Balikpapan melawan Persegres Gresik. 

Mungkin ini adalah hal baru di Indonesia. Desain konstruksi bangunan yang menghilangkan lintasan atletik membuat jarak antara lapangan dan penonton menjadi kian dekat. Masalahnya, ini di Indonesia lho. Negara dengan track record kerusuhan supporter paling sering. 

Mestinya saya tak perlu sebutkan apa saja macam kerusuhan itu. Yang paling baru dan masih hangat di ingatan kita adalah meninggalnya Catur Juliantono. Almarhum meninggal karena lemparan petasan suar oleh sesama supporter, kala timnas senior beradu dengan Fiji. 

Belum lagi lemparan botol, batu, dan benda-benda asing, yang hampir selalu ada disetiap pertandingan di level klub. Hal ini tentu akan menjadi sangat rawan apalagi jarak semakin menjadi pendek, karena lintasan atletik yang dihilangkan.

Stadion Bantakan. TribunKaltim.co
Stadion Bantakan. TribunKaltim.co
Di Inggris, konsep stadion modern dengan menghilangkan lintasan atletik telah dimulai sejak tahun 1930an. Kala itu seorang arsitek Archibald Leitch membuat desain stadion seperti yang anda saksikan sekarang ini. Kliennya saat itu adalah antara lain Manchester United, Liverpool, Everton, Blackburn, Tottenham, Arsenal, Chelsea, Fulham, Crystal Palace. 

Sebab lain adalah memang sejarah klub-klub Inggris yang diawali dari tanah lapang, dan tidak menyiapkan diri untuk menggelar pertandingan atletik. Soal stadion, sepakbola Inggris belajar dari banyak peristiwa mengerikan. Setidaknya ada empat kecelakaan stadion di Inggris ataupun melibatkan supporter Inggris Raya. Antara lain, Tragedi Ibrox 1971, Tragedi Heysel dan Tragedi Kebakaran Bradford yang sama-sama terjadi di tahun 1985, serta Tragedi Hillsborough. Total korban tewas dari keempat bencana itu mencapai 257 jiwa.

Rentetan tragedi dan perubahan regulasi serta gaya mendukung supporter Britania

Setiap kejadian tentu mendapat pelajarannya masing-masing. Termasuk apa yang dikenal dengan "Rekomendasi Taylor" pasca kejadian Hillsborough yang salah satunya mensyaratkan satu orang satu kursi. Namun khusus untuk kebijakan lapangan yang berdekatan dengan tribun dipengaruhi oleh tragedi kebakaran Stadion Valley Parade, Bradford. 

Kala itu, pertandingan antara Bradford City melawan Lincoln City di Divisi III Liga Inggris. Api mulai membesar diduga berasal dari puntung rokok salah satu fans. Konstruksi stadion yang semuanya masih menggunakan kayu, membuat api mudah membesar hingga menewaskan 56 korban jiwa.

Selain padatnya supporter yang saat itu di tribun, alasan lain yang menyebabkan banyaknya korban jiwa adalah konstruksi stadion yang memiliki pagar pembatas cukup tinggi antara tribun dan lapangan. Penonton terjebak di reruntuhan atap, mereka tak bisa keluar stadion ataupun menyelematkan diri ke lapangan sebab harus melompati pagar yang cukup tinggi.  

Hal yang sama juga terulang di tragedi Hillsborough. Kondisi tribun yang belum menggunakan single seat alias tribun berdiri dipaksa menampung ratusan hooligan Liverpool. Sementara pagar besi setinggi kurang lebih 2 meter membatasi tribun dan lapangan. Tragedi pun tak terhindarkan. Penonton yang terjebak di tribun tak dapat meloloskan diri ke lapangan. Hingga injak-menginjak pun tak terhindarkan. 96 orang tewas dalam kejadian ini.

Berkaca dari hal itu, FA dan pemerintah Inggris mengesahkan rekomendasi Taylor yang diantaranya memuat aturan untuk menghilangkan pembatas fisik seperti pagar besi dan tembok, serta memangkas jarak lapangan dengan kursi dari yang awalnya 4-5 meter menjadi hanya 1-2 meter. 

Aturan lain adalah diterapkannya kursi tunggal untuk setiap penonton. Hal ini untuk menghindari membludaknya penonton sehingga kecelakan bisa diminimalisasi. Aturan ini terbukti mendewasakan suporter Inggris. Tercatat hanya satu insiden yang melibatkan pemain dan dan suporter. Apalagi kalau bukan tendangan kungfu Eric Cantona yang legendaris itu.

Ujian Kedewasaan Supporter Indonesia

Dibangunnya Stadion Batakan dengan desain yang menghilangkan lintasan lari tentu menjadi terobosan di Indonesia. Walaupun pada dasarnya telah ada stadion Maguwoharjo, Sleman dan Lebak Bulus, Jakarta (sebelum dibongkar) yang tak memiliki lintasan lari. Namun, bagi sebuah negara yang sepakbolanya sedang berkembang, memiliki ikon stadion seperti ini tentu memiliki plus dan minus.

Jarak antara tepi lapangan dan tribun Stadion Batakan memang masih cukup jauh sekitar 8 meter. Belum lagi ditambah dengan selokan selebar 1 meter yang terletak persis di tepi tribun. Namun, nilai yang perlu di apresiasi adalah keberanian untuk memotong tinggi pagar yang hanya setinggi sekitar 1 meter. 

Jauh dibanding stadion Kanjuruhan Malang yang mencapai 2,5 meter. Tentu ini bisa menjadi rawan untuk dilompati dan bentrok antar sesama supporter. Selain itu, saling lempar botol, batu, hingga mungkin petasan menjadi sangat mudah. Mengingat jarak lempar yang pendek.


Namun demikian, sudah saatnya supporter Indonesia merubah pola pikir. Aksesibilitas dan fasilitas stadion yang baik, seharusnya tidak dijadikan kesempatan untuk berbuat onar. 

Perlu perubahan mentalitas, perilaku, dan gaya dalam mendukung tim favorit. Khususnya bagi Balistik, kelompok supporter Persiba. Agar tak ada lagi cerita tentang lemparan botol, batu, hingga petasan. Baik ditujukan ke lapangan ataupun ke tribun lain, sehingga memakan korban jiwa.

Kita perlu belajar bagaimana supporter Inggris Raya mendewasakan diri. Dalam perjalanannya ketidakdewasaan supporter Inggris telah menelan 257 korban jiwa. Di saat satu nyawa pun sudah terlalu mahal, sepakbola Inggris harus kehilangan 257  nyawa untuk meraih kedewasaan. 

Saya yakin, tak ada satupun insan sepak bola Indonesia yang menginginkan hal itu terjadi. Cukuplah Catur Juliantono yang menjadi martir untuk mendewasakan supporter Indonesia.

Referensi:
Sejarah Tentang Stadion Sepak Bola di Inggris
Mungkinkah "Safe Standing" Diterapkan di Inggris?
Archibald Leitch: Bapak Stadion Sepak Bola Modern
Tragedi Runtuhnya Tangga di Stadion Ibrox
On This Day 1985, Ketika 59 Orang Terpanggang di Stadion
Bradford City fire remembered

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun