Mohon tunggu...
Coach Rudy Ronald Sianturi
Coach Rudy Ronald Sianturi Mohon Tunggu... -

Terapis Klinis, CoachWriter, Trainer & Motivator

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Spiritualitas Semut

17 Oktober 2015   14:47 Diperbarui: 17 Oktober 2015   14:54 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya, kehidupan manusia ditopang oleh banyak spesies yang bekerja dalam keheningan. Bakteri coli, misalnya, bekerja membusukkan ampas makanan dalam usus kita supaya siap dibuang. Selamatlah perut kita dari kembung dan kentut busuk. Ada lagi beragam organism renik yang membantu proses metabolism sehingga orang Jepang boleh mengekstrasi nutrisi dari sushi atau sashimi dan bukannya sakit perut.

Pandang juga sekeliling kita, ada banyak mahluk bersayap seperti lebah yang berperan dalam proses polinasi. Angin saja tidak cukup untuk memastikan terjadinya pembuahan tanaman. Seringkali lebah, sembari mengumpulkan nektar, sekaligus membawa sel jantan ke bunga betina. Dan kita tinggal menikmati buahnya. Di Afrika yang banyak mengalami gurunisasi, ketersediaan polinator adalah masalah pelik yang mendapat perhatian sangat serius karena berkaitan langsung dengan penurunan dan kualitas hasil panen. Kelaparan dan amuk sosial adalah konsekuensi yang harus diantisipasi!

Di tengah-tengah kesenyapan ini, ada bilyunan semut yang bekerja baik sebagai dekomposer dan polinator. Tengok di mana saja, kemungkinan anda menemukan semut sedang bekerja. Giat dan gigih, mereka bekerja dengan fokus yang mencengangkan. Bahkan mereka bekerja dalam koordinasi dan pembagian tugas yang begitu rapi. Ikuti iring-iringan semut, kita akan tahu bahwa mereka membentuk rantai kerja serta spesialisasi yang umum ditemui dalam organisasi modern manusia. Mahluk setipis beberapa kali helai rambut namun sanggup membangun koloni masif dengan ‘gedung pencakar langit’ hingga tiga meter lebih seperti rumah-rumah semut (ant mound) di Papua dan Australia. Inilah inspirasi nama Universitas Musamus, universitas negeri di kota Merauke. Musamus dalam bahasa suku Marind, Merauke, berarti rumah semut, yaitu bekerja bersama membangun keajaiban.

Saya senang mengamati kinerja dan karya mahluk-mahluk luar biasa ini. Saya senang membaca literatur yang mengkaji peran ekologis mereka. Rasanya asyik bisa membangun relasi biokimiawi dengan mereka dan menemukan bagaimana kasih segenap mahluk itu bukan hanya ide teologis namun dibangun Tuhan dalam jaring-jaring kehidupan. Ini hanya perkara kita mau sadar tidak. Begitu sadar, perkara yang lebih sulit adalah maukah kita rendah hati untuk mendapat beberan dan pelajaran hidup?

Saya ingat pengalaman kerendahatian dasyat itu. Puluhan tahun lalu, saya sedang belajar spiritualitas pada sejumlah guru rohani hebat. Di awal pembelajaran, kemajuan sangat menjanjikan. Begitu masuk minggu ketiga, kemajuan terlihat kelam bahkan mulai terasa gerak mundur. Saya gelisah. Pembimbing malah tersenyum-senyum. Saya merasa dikerjain, tetapi entah apa dan bagaimana. Saya memutuskan maju terus karena saya percaya pada nama besar guru-guru saya. Apa lacur, seorang guru saya mulai berkata yang aneh-aneh. Katanya, bukan mereka yang saya perlukan namun sesuatu yang tidak terlihat, mungil namun cabe rawit. Masih sempat juga seorang lainnya bercanda bahwa cabe super pedas, itu yang akan membangunkan spiritualitas yang lebih dalam.

Caranya?

Cara ngawur! Saya disuruh menangani proyek sederhana: lubang sampah! Saya diminta selama sebulan bekerja sendirian, hanya dengan diriku, menggali lubang sampah minimal 1 x 1 meter dengan kedalaman 2 meter. Aneh sekali. Sebelumnya saya diajar untuk bermeditasi, lima kali sehari, merenung mendalam dan menuliskan sari-sari meditasi serta mempraktekkan dalam refleksi dan tindakan. Kini saya disuruh melakukan hal di luar dugaan. Syukurlah saya masih percaya pada mereka dan tanpa banyak bicara, kecuali dalam hatiku, mengambil cangkul dan ember kecil. Saya mulai menghitung hari, mulai pagi hingga jelang mahgrib: 30 hari!

Bisa ditebak, ada banyak kisah pergulatan. Kesenyapan mengintimidasi. Terbiasa dengan hiruk-pikuk suara mesin dan manusia yang sudah terasosiasi sebagai kehidupan konkret, bekerja sendirian di tengah kebun luas yang hanya berisi desau angin dan kicau pipit terkadang mengesalkan. Saya bukan berjalan-jalan menikmati alam, sesuatu yang sangat saya sukai. Saya sedang menyelesaikan proyek batin dalam bentuk fisik. Apalagi ketika lubangnya mulai dalam dan menjangkau lapisan karang. Badan segera capai sementara pikiran bertanya terus apa maksudnya saya membutuhkan cabe rawit? Saya yakin itu intinya karena kedua guru saya tertawa-tawa serius di bagian ini.

Saya ingat benar, masih terbayang jelas di benak. Suatu sore, jelang berakhirnya hitung hari 30, saya beristirahat dalam lubang yang sudah lebih tinggi dari diriku. Punggung sakit sekali karena berkali-kali harus membungkuk menaruh tanah ke dalam ember dan berdiri tegak melempar tanah itu ke atas. Saya duduk menikmati bayangan pepohonan di atas serta gemerisik daun diterpa angin. Ada banyak burung berkicau. Nikmat juga. Mata terkantuk-kantuk, sedikit memicing memandang lurus ke depan. Seperti terlihat segaris pendek bergerak-gerak naik. Saya biarkan saja semua sensasi memasuki diriku.

Mendadak mata membuka selebarnya. Seekor semut! Seekor semut sedang merayap naik. Ia tampak terengah-engah, seperti diriku, karena naik sambil membawa beban besar. Cuilan pepaya yang barusan kumakan, entah darimana dapatnya, entah kapan ia merayap turun, ia bawa dengan semangat ke atas. Berkali-kali ia terjatuh, tetapi ia kembali mengulang upayanya dengan semangat yang kian besar. Saya terkesima. Sesuatu yang luar biasa sedang dipampang di depan mataku. Ia membawa beban yang belasan kali melebih ukuran badannya, bergerak tegak lurus melawan gravitasi, berusaha mencapai ketinggian yang bahkan lebih tinggi dari diriku! Ini dia sang cabe rawit!

Saya perhatikan dengan seksama. Saya bahkan memberi semangat kepadanya, seakan dia pasti mendengar suara saya. Ini sang guru yang membeber hakikat terdalam diriku. Saya telengkan telinga, saya mendengarkan sang semut. Hingga saya mengepal tangan kegirangan ketika akhirnya ia mengerjakan keajaiban. Ia berhasil! Menakjubkan! Mahluk sekecil ini mengerjakan pekerjaan 100 semut!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun