“Ya Fi hehe…,dulu ya gitu.., waktu ibuku sakit kanker payudara, adikku yang cowok itu ya cuek gitu,..hanya sibuk mikir dirinya sendiri”, aku ketawa.. “Ya Cuma aku yang menemani dan merawat ibuku” lanjutnya, “…makanya saat itu aku berharap – moga-moga aku dapat anak-anak cewek ya, supaya kalau aku sakit besok disaat tua, ada yang menemani dan merawat seperti ini..” lanjutnya.
Ah, betapa kagetnya aku mendengar kalimat terakhirnya.
“Lho, kamu doanya bgitu,Hen..?” tanpa bisa menutupi rasa kagetku.
“Lho, memang kenapa,Fi..?” tanyanya dengan keheranan..,”memang salah,doa minta anak perempuan..?” lanjutnya.
Aku terdiam, agak susah menjawab, tapi akhirnya ya terlontar juga tanggapanku..
“ Bukan doa minta anak perempuannya yang salah,Hen,… tapi…kalimat terakhirmu itu lho…..?”…aku tak bisa menyambung kalimat lagi.
Henipun juga diam dalam Tanya keheranan..
Kami berdua diam, Heni diam dalam Tanya, dia berpikir atas perkataanku tentu, sedang aku merasa tak enak untuk melanjutkan..
Akhirnya Heni paham…“ooo…aku ngerti…,jadi doa terakhirku itu ya….?” Lanjutnya sambil agak sedih..
“Ya..itulah Hen..” aku menyahut membenarkan..
“Tapi nggak apa Hen, yang penting tetap kuat lah, syukuri bahwa kamu punya anak-anak cewek yang baik dan ngerti, susah lho punya anak yang ngerti itu..” begitu aku menghiburnya, aku sendiri agak bingung melanjutkan topik pembicaraan ini.