Apabila dari sononya naik tentu harga-harga akan naik.
Dari sononya yang dimaksud adalah keputusan pemerintah.
BBM (Bahan Bakar Minyak) merupakan dasar.Â
Oleh karenanya ketika bahan bakar dulu naik, harga barang-barang dan jasa juga ikut naik. Ekonomi menjadi inflasi.
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) juga naik mulai 1 Januari 2025.
Dari 11 persen menjadi 12 persen. Atau naik 1 persen.
Banyak petisi yang ditandatangani menolak rencana kenaikan tersebut, lantaran kenaikan akan membuat rakyat semakin terjepit dimana keuangan mereka saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Mengapa kok kenaikan 1 persen saja dipersoalkan?
Jika beli barang Rp 2.775.500 dulu (sudah termasuk PPN 11 persen).Â
Namun jika 12 persen, maka harus membayar Rp 2.800.000.Â
Atau naik hanya Rp 24.500 saja.
Bukan itu saja masalahnya. Rakyat kini sudah pintar. Efek kenaikan tersebut akan menjadi rangkaian panjang.
Sebagai contoh perusahaan tekstil.
Perusahaan ini akan membebankan konsumen imbas kenaikan 1 persen PPN.
Kenaikan produk TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) bisa mencapai 20 persen dari harga jual sebelumnya.
Ini dikarenakan ada jalur distribusi yang lebih dari satu dari pembelian bahan baku.
Jalur pertama, perusahaan membeli bahan baku dengan harga yang sudah termasuk PPN 12 persen.
Bahan ini dibeli lagi oleh jalur kedua yang kena lagi PPN 12 persen.Â
Jalur ketiga beli lagi dengan PPN 12 persen.
Ya, rangkaian panjang tersebut yang membuat harga jual di tingkat konsumen nantinya bisa lebih mahal 20 persen.
Kenaikan tersebut akan berimbas konsumen beralih ke produk impor yang lebih murah sehingga mengakibatkan laba pabrik tekstil dalam negeri semakin tergerus.
Itu dengan asumsi masyarakat masih membutuhkan pakaian atau TPT lainnya.
Jika memang tidak mampu membeli karena harga mahal, maka terpaksa masyarakat harus bergaya hidup "frugal living"
Kendati demikian, keinginan menahan pembelian tekstil akan sulit dibendung mengingat pada bulan Maret sudah Idul Fitri.
Dengan lemahnya daya beli maka itu cenderung masyarakat untuk membeli produk impor yang lebih murah.
Ketua Umum APSyFI (Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia), Redma Gita Wirawasta, mengatakan Minggu (24/11/2024), pemerintah harus (serius) memberantas produk impor.
Produk TPT impor itu jauh lebih murah setelah sampai di Indonesia karena selain bebas pajak juga biaya produksi di negara asal juga murah.
Data memperkirakan pemerintah telah kecolongan Rp 46 triliun dalam 5 tahun terakhir.
Nilai barang yang masuk tanpa PPh, PPN, dan bea masuk TPT ini mencapai 7,2 milyar USD atau Rp 106 triliun.
Jika impor diberangus, maka penerimaan pemerintah dari TPT akan naik Rp 9 triliun.Â
"Tidak usah dari PPN," kata Ardiman Pribadi, Direktur Eksekutif YKTI (Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia), Minggu (24/11/2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H