Bawa uang tunai masih perlu di jaman serba digital ini?
Andy Nugroho, seorang perencana keuangan, menjawab membawa uang tunai di cashless society ini masih diperlukan terutama untuk siap-siap jika di tempat-tempat tertentu belum menyediakan fasilitas digital.
Di pasar di daerah "sepi" misalnya para pedagang di sana belum mengerti sepenuhnya tentang literasi digital ini.
Atau pun mereka belum mempunyai fasilitas QRIS misalnya.
Sediakan uang tunai secukupnya saja jika sewaktu-waktu kita berbelanja di tempat-tempat seperti itu.
Sejumlah gen Z mengatakan mereka lebih menyukai gaya hidup cashless ini karena selain praktis, mudah, dan cepat dalam melakukan pembayaran, cukup klak klik dari gadget saja, beres.
Mereka pun tidak perlu repot-repot membawa uang tunai banyak-banyak yang bisa menimbulkan kecemasan.
Tidak sedikit dari gen Z yang berpengalaman uang tunai mereka dicuri di keramaian mall, di keramaian lainnya, atau di kendaraan umum.
"Aku pernah kecurian uang tunai sampai Rp 600 ribu," katanya.
Dengan tidak membawa uang tunai, mereka aman dari tindakan tersebut.
Untuk bertransaksi mereka cukup membawa smartphone saja.
Ada pengalaman gen Z lainnya yang terpaksa menjadikan temannya "ATM".
Kendati transaksi digital menawarkan banyak keuntungan seperti kepraktisan, kemudahan, dan banyak diskon, namun ada tantangan tersendiri pada gen Z yang sepenuhnya bergantung pada metode ini.
Seorang gen Z mengatakan dia terpaksa meminjam uang dari temannya saat berbelanja di tempat yang belum menyediakan fasilitas QRIS.
"Aku terpaksa pinjam uang ke teman," katanya.
Fenomena itu menunjukkan kendati transaksi digital sudah semakin populer, namun belum semua merchant menyediakan fasiltas cashless yang merata.
Hal tersebut menimbulkan fenomena yang unik dimana di saat gen Z yang ketagihan mengunakan transaksi digital terpaksa harus mengutang dulu kepada temannya yang membawa uang tunai.
Namun di balik semua kemudahan dan kepraktisan, metode cashless juga ada negatifnya dimana ada kecenderungan pengeluaran kita menjadi boros.
Tinggal klak klik saja dari smartphone di tangan, kita belanja ini belanja itu, jadinya lama-lama jadi lupa dan ketagihan uang kita keluar terus tanpa terkontrol.
Fenomena ini mirip dengan Doom Spending.?
Pada mulanya Doom Spending itu adalah untuk terapi dengan berbelanja.
Seseorang yang sedang stres mereka berbelanja untuk meredakan kegalauan itu.
Stres lagi, gen Z mereka belanja lagi.
Fenomena Doom Spending ini umumnya dikaitkan dengan gen Z dan millenial.
Adanya aplikasi belanja online di smartphone memicu gen Z kerap memesan barang atau makanan lewat HP yang praktis.
Namun lama-lama kondisi tersebut membuat kecanduan bahkan sampai-sampai mereka berutang jika uang mereka mulai menipis untuk belanja.
Gen Z dituding lupa memikirkan masa depan atau pun jika ingat mereka berpikiran hidup adalah untuk hari ini.
Menabung tidak akan bisa mereka untuk membeli rumah nantinya. Mereka berpikiran demikian.
Namun ujung-ujungnya gen Z menyesal karena telah memboroskan uangnya untuk berbelanja barang-barang yang "sembarangan" alias bukan kebutuhan yang prioritas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI