Doom spending kini juga sudah mewabah di negara kita.
Pada awal munculnya, yaitu pada tahun 2020 di Amerika Serikat, doom spending ini bermakna terapi belanja.
Dimana stres yang dialami seseorang, terutama generasi Z dan milenial dapat diobati dengan berbelanja.
Ibarat candu, merokok, atau mengonsumsi narkoba yang bikin ketagihan, begitulah makna doom spending sekarang ini.
Masalah yang dialami oleh seseorang dapat hilang walau sejenak dengan mengonsumsi narkoba.
Namun bahayanya, kenikmatan hilangnya masalah dengan mengonsumsi narkoba itu sudah nempel banget.
Dalam artian mereka kecanduan. Ingin narkoba lagi jika stres melanda.
Begitu seterusnya, mereka seolah-olah merasa di surga yang sayang jika hilang kenikmatannya saat tidak ada narkoba.
Doom spending pun demikian adanya.
Mereka stres. Untuk menghilangkan stres itu mereka terapi, yaitu belanja yang menyenangkan hatinya.
Setelah belanja mereka senang.Â
Namun kalau stres lagi mereka sangat gelisah jika tidak diobati dengan belanja lagi. Mereka jadi ketergantungan.
Bayangkan jika generasi Z atau milenial itu penghasilannya tidaklah bisa dikatakan mencukupi.
Selain masih muda oleh karenanya mereka tidak berpikir untuk masa depan.
Mungkin mereka berpikiran, aku masih muda. Hidup adalah hari ini. Masa depan itu nanti, lain lagi dan masih bisa dicari.
Oleh karenanya mereka belanja lagi dan belanja lagi. Tak peduli dengan masa depan.
Dalam survei di Amerika Serikat yang digelar oleh Psychology Today didapatkan 32% milenial meminjam uang untuk dipakai belanja jika uang yang mereka miliki kekurangan.
Lepas dari ada kaitannya dengan situasi yang terjadi di politik atau ekonomi di negara kita, perilaku doom spending bisa memburamkan masa depan bangsa.
Hidup untuk hari ini berarti mereka tidak menyimpan uangnya di tabungan atau investasi yang lain. Bahkan mereka berutang yang tentunya mereka harus melunasi plus bunganya.
Apakah ada atau banyak generasi Z atau milenial Indonesia yang bahkan sampai berutang demi "terapi belanja" mengingat doom spending di negara kita ini masih baru.
Tidak seperti di Amerika Serikat seperti yang sudah disebutkan di atas?
Doom spending adalah perilaku seseorang yang jor-joran membelanjakan uangnya.
Umumnya mereka tidak memikirkan masa depan.
Namun saya kira masih ada generasi Z yang masih sadar dengan menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung di tengah kecanduan mereka berbelanja.
Kemajuan teknologi menjadi salah satu sebab mengapa mereka jor-joran belanja.
Di smartphone mereka bisa mengunduh aplikasi toko belanja online dan tinggal klak klik saja mereka belanja apa yang diinginkan.
Karena masih baru, milenial juga sepertinya masih baru merasakan penderitaan akibat habisnya uang mereka bahkan meminjam.
Diharapkan fenomena doom spending ini hanya sesaat saja terjadi. Dimana setelah mereka merasakan akibatnya yang bikin sengsara.Â
Mereka diharapkan bertobat tidak lagi jor-joran belanja jika stres.
Dengan demikian diharapkan juga pandangan mereka berubah dari perilaku jor-joran menjadi memikirkan masa depan.
Ya doom spending masih baru di Indonesia.
Kondisi seperti ini diharapkan hanya sebentar dan hilang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H