kelas menengah Indonesia pada tahun 2024.
Data BPS (Biro Pusat Statistik) memperlihatkan terdapat 17,44 persen pendudukJumlah itu mengalami penurunan setiap tahunnya sejak tahun 2019 sebesar 21,54 persen.
Mirisnya penurunan kelas menengah itu bukannya mereka naik ke kelas atas, namun justru menurun ke aspiring middle class bahkan ke kelas bawah.
Aspiring middle class yang dimaksud adalah bukan kelas bawah bukan juga kelas menengah, namun di tengah-tengahnya.
Jika diterjemahkan bermakna kelas menuju kelas menengah.
Pengkategorian kelas itu didasarkan kepada kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk segala kebutuhan per bulannya.
Untuk Indonesia, kelas menengah adalah mereka yang pengeluarannya per bulan per kapita Rp 2,1-7,1 juta.
Aspiring middle class adalah mereka yang pengeluarannya per bulan mampu Rp 600 ribu-Rp 2,1 juta.
Sedangkan kelas bawah adalah mereka yang pengeluarannya di bawah Rp 600 ribu per kapita per bulan.
Lepas dari kelas atas yang tidak disinggung dalam hal ini, apakah dalam waktu dekat ada jalan keluar dari masalah ini dimana middle class dan kelas bawah naik derajatnya?
Kondisi kebijakan pemerintah, peristiwa yang terjadi, dan sikap finansial kelas menengah menjadi jawaban apakah mereka bisa keluar dari tekanan.
Tanpa bansos (bantuan langsung) pemerintah, tekanan ekonomi kelas menengah belum bisa mereda.
Lagi pula berapa presentase kelas menengah itu yang memperoleh bansos?
Dalam waktu dekat, masa yang berat ini nampaknya belum bisa berakhir.
Sejak awal bulan Januari 2025 pemerintah akan mengeluarkan sejumlah PP di antaranya pemotongan gaji untuk JHT (Jaminan Hari Tua), Kenaikan tarif KRL (Kereta Rel Listrik), dan kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai).
Selain itu Ramadhan dan Lebaran yang diprediksi jatuh pada 30 Maret 2025 kian mepet waktunya.
Kelas menengah, aspiring middle class, dan kelas bawah harus membuat ancang-ancang atau anggaran untuk membiayai Lebaran itu yang diyakini seperti biasanya harga-harga barang dan jasa bakal melonjak.
Investasi bisa menolong?
Deposito, reksadana, obligasi, dan saham berpotensi imbal baliknya lebih tinggi daripada tabungan.
Di tabungan uang kita berisiko tertelan oleh inflasi.
Deposito memberikan imbal balik yang lebih tinggi daripada tabungan. Begitu pun dengan obligasi.
Sedangkan saham bersifat high risk high return dimana investor harus berhati-hati dan memiliki kemampuan menanamkan uangnya di portofolio itu.
Jika itu juga sulit untuk dieksekusi, menerapkan gaya hidup Frugal Living bisa menjadi solusi yang meringankan.
Frugal Living ini adalah sikap finansial kita dimana kita melakukan penghematan secara luar biasa dan memanfaatkan segala kondisi yang meringankan pengeluaran sehingga nantinya uang kita bisa ditabungkan.
Hiduplah seperti "Makan Receh".
Ingat paspor acara yang hadir di Trans7 setiap hari mulai pukul 16.00 WIB itu.
Harga receh, menu receh, tapi harga enggak recehan...
Ya begitu kita harus bersikap.
Kalau ada diskon misalnya, maka promo itu harus dimanfaatkan.
Dengan "uang lebih" nantinya maka setidaknya uang kita sedikit demi sedikit dapat disimpan di tabungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H