Mohon tunggu...
Rudy
Rudy Mohon Tunggu... Lainnya - Back to work

Refreshing

Selanjutnya

Tutup

Music

Nyanyian "Cengeng" Pernah Dilarang Orba, Bagaimana Sekarang?

19 September 2024   11:29 Diperbarui: 19 September 2024   14:33 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendengarkan musik (bobo.grid.id)

Pengamat. 

Yang saya kenal dan sering dengar adalah pengamat politik, pengamat olahraga (sepakbola), pengamat budaya, atau pengamat musik.

Manfaat adanya pengamat tersebut maka masyarakat awam yang kurang fasih atau kurang waktu dalam mengamati bidang tertentu menjadi faham dengan membaca analisa sang pengamat.

Konon di tahun 1970-an terbit majalah Aktuil yang berisi tentang hiburan, film dan entertainment,  khususnya musik.

Majalah yang berkantor di Bandung, Jawa Barat, itu menjadi penerang bagi para pembacanya yang hobi musik.

Pada masanya, Aktuil menampilkan para pemusik dari dalam dan luar negeri. Seperti The Who, The Beatles, Bee Gees, atau Bimbo, The Rollies, Koes Bersaudara, serta Panbers.

Namun tahukah Anda ada fenomena menarik pada masa pemerintahan Orde Baru tersebut.

Pemerintah sempat melarang lagu-lagu cengeng untuk disiarkan, khususnya di RRI dan TVRI, karena bisa berdampak luas melemahkan semangat bekerja.

RRI dan TVRI pada saat itu merupakan satu-satunya media hiburan rakyat. 

Belum ada stasiun-stasiun TV swasta seperti RCTI, SCTV, Indosiar, dan sebagainya pada waktu itu.

Lagu-lagu cengeng yang dilarang oleh Menpen (Menteri Penerangan) Harmoko itu yang dibawakan oleh Betharia Sonata, Nia Daniati, dan Dian Pisesha.

Anda ingat judulnya?

Syair seperti ini:

Aku masih seperti yang dulu, menunggumu sampai akhir khayatku...

Gelas-gelas kaca dimanakah aku kini...

Sering kau lakukan bila kau marah...

Harmoko yang notabene kepanjangan tangan dari Soeharto melarang lagu-lagu cengeng itu karena akan melemahkan semangat bekerja seiring dengan Indonesia baru saja membangun dengan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) nya.

Waktu sudah lama berlalu, kini ada lagu bernada cengeng lagi yang digemari masyarakat.

Lagu itu, "Sialnya, Hidup Harus Tetap Bertahan" karya musisi muda, Bernadya Ribka Jayakusuma, meledak dan selalu masuk dalam Top 50 Spotify Indonesia.

Lagu cengeng ini menceritakan tentang percintaan yang kalau tidak kuat bisa membuat air mata pendengarnya menetes.

Beruntung, lagu ini beredar bukan di jaman orba dimana orba melarang lagu-lagu cengeng karena akan berdampak luas.

Lagu "Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan" beredar dan banyak disukai pendengarnya di masa peralihan Presiden Jokowi ke pemerintah Prabowo Subianto.

Bahkan di jaman Orla (pemerintahan Soekarno), Koes Bersaudara (Koes Plus) pernah dipenjara karena berambut gondrong dan menirukan gaya The Beatles yang kebarat-baratan.

Bukan pengamat musik, namun saya senang mendengarkan lagu-lagu baik di MP3 maupun dari YouTube.

Mendengarkan musik yang kita sukai dapat menghibur dan mengurangi stres, mengurangi rasa cemas, bahkan menurunkan tekanan darah.

Selain itu mendengarkan musik juga bisa mengatasi gangguan tidur, menambah semangat beraktivitas, meningkatkan kreativitas, meningkatkan memori, dan meningkatkan mood.

Lagu-lagu cengeng pun kalau kita suka mendengarkannya, mengapa harus dilarang?

Atau pun kalau memang cengeng, kita bisa memilahnya.

Kok dilarang ya?

Beruntung lagunya Bernadya bukan di jamannya Soeharto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun