PP (Peraturan Pemerintah) atau Kebijakan pemerintah yang lainnya tak lepas dari efek samping yang dihasilkan darinya.
AdanyaTugas pemerintah tentunya mengatur segala sesuatu di semua bidang agar tercipta suatu keharmonisan demi kebaikan pihak.
Salah satu PP yang menimbulkan penolakan sebagai efek samping dari Kebijakan pemerintah itu adalah para pedagang pasar yang menjual produk tembakau dan mamin (makanan dan minuman).
Kebijakan pemerintah yang ditolak oleh "bos-bos" pedagang pasar itu adalah PP (Peraturan Pemerintah) berkaitan dengan kesehatan.
Dalam pasal 434 PP tersebut ada tertulis pedagang rokok dilarang berjualan dalam radius minimal 200 meter dari tempat bermain anak atau sekolah/tempat pendidikan.
Pemerintah mendorong dengan PP tersebut agar anak-anak atau remaja tidak membeli rokok dari pedagang yang terdekat.
Dengan jarak berjualan minimal 200 meter tersebut diharapkan anak-anak akan malas menjangkaunya dan dengan sendirinya tidak membeli produk tembakau itu.
Suhendro, Ketua APARSI (Asosiasi Pasar Seluruh Indonesia) mengatakan bahwa perekonomian para pedagang sudah terpukul akibat wabah pandemi Covid-19 yang lalu.
Ditambah dengan kehidupan sekarang ini yang serba sulit dimana pendapatan para pedagang hanya pas-pasan saja bahkan lebih besar pasak daripada tiang.
Selaras dengan pemberitaan yang sedang ngetren saat ini dimana jumlah kelas menengah Indonesia mengalami penurunan bahkan sudah lima tahun terakhir.
Kehidupan mereka mengalami "cobaan" dimana banyak item kebutuhan selain harganya naik juga jumlahnya semakin banyak.
Bahkan mereka cenderung untuk "makan tabungan"
Artinya mereka menguras tabungan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari.
"Pemerintah sebaiknya mendengarkan keluhan kami," kata Suhendro.
Suhendro menambahkan upaya menghalangi anak-anak dibawah umur untuk tidak merokok dengan PP tersebut belum tentu membuahkan hasil.
Masalah barunya muncul, pedagang kecil kena imbasnya.
Selain pasal yang melarang penjualan produk tembakau jarak minimal 200 meter dari institusi pendidikan, pemerintah juga akan mengenakan cukai kepada makanan dan minuman yang mengandung kadar gula.
Adhi S. Lukman, Ketua GAPMMI (Gabungan Produsen Makanan dan Minuman Indonesia) menyebutkan jika PP tersebut menganggap gula sebagai barang yang haram.
Padahal sejatinya gula sangat penting untuk energi manusia dan untuk anak-anak bahkan selama masa pertumbuhan.
Dengan mengenakan cukai pada mamin pemerintah mendorong harga mamin menjadi naik dan dengan demikian orangtua tidak memberikan uang saku kepada anaknya.
Menurut Adhi, kendati pihaknya akan mengurangi kadar gula dalam produk, namun di rumah konsumen malah menambah gula sendiri karena kurang terasa manis.
Dalam suatu kebijakan memang selalu ada dampak yang dituai.
Seperti PP itu dimana destinasi diterapkannya PP tersebut untuk kesehatan, namun di lain pihak para "juragan pasar" terimbas pendapatannya.
Terkenang dalam hal ini pada seorang Faisal Basri.Â
Bagaimana pendapat beliau dalam kasus ini.
Diketahui ekonom senior itu sudah menghadap Illahi pada Kamis (5/9/2024) yang lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H