"Tuyul siah...!"
Sewaktu kecil saya sudah mendengar dari warga sekitar tentang tuyul.
Tuyul ini merupakan sosok anak kecil berkepala gundul yang tugasnya mengambil uang milik orang lain.
"Orang itu memelihara tuyul," kalimat itu pernah saya dengar. Bocah gundul dipelihara seseorang.
Si bocah diperintahkan oleh si pemelihara untuk mencuri uang milik orang lain. Itu yang saya dengar.
Sedangkan di film-film kerap diceritakan warga melaporkan uangnya yang hilang, dari satu rumah ke rumah lainnya.
Percaya atau tidak si bocah gundul pencuri uang itu sudah menjadi cerita tersendiri di berbagai tempat.
Bahkan budaya sosial tentang keberadaan si bocah gundul itu telah menarik perhatian seorang antropolog asal Amerika Serikat, Clifford Geertz, untuk menelitinya.
Clifford Geertz memasukkan tuyul menjadi salah satu bagian tentang penelitian agama di masyarakat Jawa.
Kondisi tersebut termuat dalam buku yang berjudul "Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa"
Dalam buku itu Geertz menuliskan jika tuyul dalam masyarakat Jawa itu sebagai makhluk halus yang bisa membuat orang yang memelihara nya menjadi kaya raya.
Sang antropolog meneliti sosok makhluk halus tersebut di Mojokuto, alias Pare, Kediri, Jawa Timur.
Ternyata soal penelitian itu sendiri banyak warga Mojokuto yang tidak mengetahuinya.
"Saya baru denger kalau ada antropolog Amerika mengadakan penelitian di Mojokuto," kata salah seorang warga Mojokuto, Deddy Wahyu Kurniawan.
Kendati begitu menurut Deddy, kisah tuyul di daerahnya memang sudah tidak asing lagi. Banyak orang menceritakan uangnya tiba-tiba hilang. Satu orang cerita uangnya tiba-tiba hilang, satu orang lainnya menceritakan kisah yang sama, uangnya hilang.
"Mirip dalam cerita film," katanya.
Apakah dalam dunia modern ini masih ada makhluk halus berkepala gundul itu melakukan aksinya mencuri uang atas perintah "tuannya?"
"Jika ditanyakan pendapat saya soal tuyul, sulit dibuktikan. Ambil sisi positifnya saja. Bentengi diri dengan iman. Simpan uang hati-hati," katanya.
Sejatinya apa yang diteliti oleh Geertz bukan ada atau tidaknya tuyul di dunia nyata. Namun Geert sebagai antropolog meneliti fungsi kepercayaan tuyul itu di masyarakat.
Sigit Widyatmoko, dosen ilmu sejarah Universitas Nusantara PGRI, mengungkapkan apa yang diteliti Clifford Geertz secara langsung di Mojokuto tidak meleset.
Dia melihat tuyul sebagai bagian dari budaya yang tertinggal yang mempresentasikan kecemburuan sosial yang terjadi di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H