"Dunia ini panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah.
Kisah Mahabrata atau Tragedi dari Yunani.
Setiap kita, dapat satu peranan,Â
yang harus kita mainkan".
Demikianlah penggalan syair sebuah lagu yang tidak asing lagi didengar. Nilai filosofis lagu ini masih kekinian terjadi dari masa-ke masa. Bagaimana tidak, dulu, di era 80-an ketika masa saya kanak-kanak  sampai 90-an masa remaja saya, ikatan emosional antar manusia  masih sangat terasa hangat. Apalagi bagi orang desa, guyub dan saling membantu tanpa ada misi mencari  keuntungan atau ada misi-misi tertentu adalah keharusan. Zamanpun berganti dan terus-menerus bermetamorfosis seiring dengan perkembangan tehnologi. Pergeseran nilai-nilai sosial masyarakatpun lambat laun mulai bergeser, bergerak pada arah perubahan. Mari kita katakan perubahan ini adalah perubahan sosial.
Perubahan sosial merupakan sebuah fenomena yang akan selalu terjadi di masyarakat belahan bumi manapun. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh dogma, ideologi, ekonomi,politik, dan tehnologi. Lantas sejauh mana terhnologi mampu merubah sebuah tatanan kehidupan (masyarakat)?
Perlu diinformasikan bahwa  penulis bukanlah seorang yang ahli di bidang Sosiologi sebagai ilmu pengetahun. Singkatnya penulis tidak memahami ihwal Sosiologi. Penulis hanyalah seorang pengajar bahasa Inggris  yang memang memiliki ketertarikan, melalui pengamatan,  pada pola perubahan masyarakat.Â
Banyak yang bisa kita amati dari majunya tehnologi dan efek sampingnya pada tatanan masyarakat. Satu diantaranya adalah  paradox. Paradox menurut Meriam Webster Dictionary adalah a statement that is seemingly contradictiory or opposd to common sense and yet is perhaps true. Singkatnya Paradox adalah fenomena pertentangan asas atau lawan asas. Bagaimana bisa perkembangan tehnologi menjadikan paradox pada masyarakat? Sangat bisa. Mari kita lihat satu persatu fenomena ini.
1. Dunia Pertelevisian
Di era 80-an dan 90-an, dimana tehnologi masih belum secanggih masa sekarang, tayangan televisi masih memiliki "tatakrama" yang baik. Acara dibuat, dikemas, dan disampaikan sesopan mungkin, katakanlah "Beradab". Tutur kata tertata dan diucapkan secara santun, tampilan bersahaja namun berkelas. Namun sekarang, acara pertelevisian dibuat seamburadul mungkin karena semakin amburadul, maka semakin tinggi Profit-sharingnya dan semakin banyak diminati masyarakat. Paradox bukan?
2. Masyarakat
Semakin canggih tehnologi berdampak pada tatanan masyarakat. mulai dari berubahnya pola fikir sampai gaya hidup. Pola fikir dan gaya hidup sekarang-sekarang ini bagai bunga dengan kumbang. Betapa tidak, tontonan yang mengajarkan masyarakat untuk berperilaku "BOHONG". Â Kenapa demikain? Sejatinya masyarakat moderen sekarang, menurut saya, sudah kehilangan akal sekat dan logikanya. Kenap demikian?Â
Orang dulu,walaupun  memiliki penghasilan sekian rupiah, akan tetapi dari penghasilannya itu bisa terbeli sebidang tanah, rumah, dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya , dan itu semua tanpa kredit alias hutangan. Lain dengan masyarakat sekarang, dimana ada terjadi kemajuan tehnologi,, akal sehatpun dikesampingkan. penghasilan puluhan juta, semuanya, kebanyakan , dipakai untuk membeli segala sesuatu yang diinginkan bukan dibutuhkan.Â
Punya handphone sudah canggih, keluar model baru dibeli lagi, walau dengan cara mengkredit. Penghasilan  hanya mampu untuk menyokong kehidupan harian, dipaksakan membeli motor atau bahkan mobil, tetapi dengan cara kredit, dan  adanya keinginan untuk tampil layaknya selebritis yang biasa dipertontonkan di televisi dan media sosial lainnya, sehingga orang berebut untuk terlihat "KAYA". Dari sinilah tercipta budaya pamer atau dalam bahasa Sosiologi, maaf jika penulis salah, diistilahkan dengan Mestizo Culture. Paradox bukan?
3. Dunia Pekerjaan
Kemajuan tehnologipun berdampak pada dunia pekerjaan. Akhir-akhir ini dunia pekerjaan sudah terdigitalisasi, yang dulunya bersifat manual kini sudah termudahkan secara digital. Terasa ringan memang, namun itu, menurut saya hanya sekedar terasa. kok bisa? Di sini jelas, secara indrawi memang segala seusautu yang berhubungan dengan pekerjaan, mislanya untuk promosi jabatan, penginputan data dilaksanakan secara digital, tetapi praktiknya tetap dokumen-dokumen fisik pada akhirnya dimintai. Bukankan ini menambah dua kali pekerjaan? Paradox bukan?
4. Dunia Remaja
Remaja adalah sasaran empuk dari kecanggihan tehnologi. Karena sifatnya yang cenderung fragile, dan mudah dimanipulasi, maka remaja adalah korban dari Mestizo culture ini. Betapa banyak remaja yang rela menjual harga dirinya hanya untuk sebuah telepon pintar? Berapa banyak remaja yang termanipulasi, dan menggadaikan masa depannya pada "jarinya"? Berapa banyak remaja yang dengan tanpa malu berjoget ria seperti orang-orang yang kesurupan, lantas dipertontonkan ? Dulu, hampir semua remaja tabu mempertontonkan hal-hal yang memang bisa merusak citra dirinya. Sekarang? Bisa kita saksikan sendiri. Paradox bukan?
Tulisan ini tidak dimaksudkan hanya kepada sisi negatif tehnologi. Harap bisa dipahami bahwa tehnologipun memberikan dampak positif yang amat banyak bagi kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI