Jika mau tahu apa yang masyarakat Semarang inginkan, bertanyalah kepada orang Semarang. Siapa yang mereka inginkan? Siapa yang mereka tahu? Siapa yang mereka kenal? Siapa yang akan mereka pilih?
Banyak faktor yang membuat seorang calon menang. Dukungan pemilih, itu nomor satu.
Kalau kita pernah main kartu joker banting (nggak pakai taruhan), sekalipun kita punya 2 joker, tetap saja belum tentu menang kalau kartu kita mati. Joker bukan segalanya. Joker itu "wildcard" yang bisa berubah atau bisa difungsikan sebagai kartu apa saja, mendampingi kartu lain. Asal kartunya tepat, dapat Joker berpeluang menang. Kalau kartu yang kita pegang sudah mati, tidak bisa menjadi kartu urut atau kartu kembar, tetap saja Joker tidak mendukung kemenangan.
Joker itu seperti profil calon. Apa pun partainya, kalau profil bagus, dan dapat dukungan pemilih, tetap saja bagus. Siapa pun dekengannya, kalau profil nggak disukai dan tidak dapat dukungan pemilih, tetap saja akan kalah.
Pilkada tidak seperti orang sabung ayam. Bukan lakon Baladewa melawan Kangsa dalam adu jago. Dalam lakon wayang "Kangsa Adu Jago", diceritakan, Baladewa menuntut kursi kekuasaan yang direbut Kangsa. Kresna, adik Baladewa, menggunakan taktik cerdik. Secara pasukan, ia kalah. Pada sisi lain, Kresna ingin memamerkan kekuatan kakaknya.
Akhirnya, terjadilah adu jago. Manusia melawan manusia. Kangsa melawan Baladewa. Pertarungan terjadi beberapa ronde. Setelah sekian menit, jago akan "dibanyoni" (dibasuh dengan air). Setiap kali Kangsa terkapar, diberi air, Kangsa selalu hidup lagi. Kresna akhirnya tahu, asal kekuatan yang menghidupkan energi Kangsa, berasal dari Telaga. Kresna meminta pertolongan Arjuna untuk memasukkan senjata Pulanggeni ke dalam Telaga itu. Air yang begitu tenang dan menghidupkan, berubah menjadi bergolak panas dan beracun.
Pilkada bukan perebutan kekuasaan. Kita bisa mulai mengikis pemaknaan Pilkada yang menakutkan, dengan citra Pilkada yang lebih baik. Pilkada itu menjalankan kepercayaan pemilih. Bukan tentang menang-kalah. Pada akhirnya, partai dan pendukung yang bersaing, tetap akan bekerja dalam satu kantor, satu kota, kembali menjalani kehidupan biasa.
Nggak usah membesar-besarkan peran Jakarta, peran partai, karena sangat banyak faktor yang menentukan terpilihnya seorang calon.
Pemilih di Kota Semarang, semakin hari semakin memperlihatkan kecenderungan mereka berikan suara ke mana.
Sekarang ini saya pakai WiFi gratisan di Poskamling dan baca-baca berita. Sambil lihat status kawan-kawan yang kemarin ikut acara "PSIS Bersholawat". Hasil poling dan survei, Yoyok Sukawi semakin unggul. Apa pun keputusan MK, tidak pengaruhi pilihan warga Kota Semarang untuk Yoyok Sukawi.
Senang rasanya, sebagai warga Kota Semarang, melihat wong asli Semarang menjadi calon wali kota dan diinginkan pemilihnya. Tidak ada lagi perebutan kekuasaan. Yang ada, masyarakat memang ingin punya wali kota pilihan mereka sendiri.