Pernahkah kita membaca di media sosial, seseorang begitu menggebu-gebu melakukan justifikasi atau penghakiman atas satu berita secara negatif, bahkan membodoh-bodohi konten berita tersebut. Bahkan tidak jarang pula membodohi orang yang sebenarnya bukan yang tersangkut paut dengan soal yang diberitakan. Tetapi, pada akhirnya mereka salah tak terbantahkan.
Atau, ketika seseorang beranggapan sebagai intelek dengan gaya menulisnya, menuangkan pendapatnya dengan runut dan bahasa yang juga baik, tetapi kemudian ketika fakta dikemukakan atau argumentasi yang didasari fakta, maka orang tersebut ternyata salah?
Atau, pernahkah kita mendengar seseorang dengan kepercayaan diri yang tinggi, mengatakan kemacetan akan tuntas dalam waktu dua tahun bila dirinya sebagai penguasa? Tetapi ternyata juga tidak terjadi ketika kekuasaan itu dalam genggamannya.
Nah fenomena seperti ini biasa terjadi, dan disebut sebagai Dunning-Kruger effect. Orang dengan kemampuan atau pengetahuan yang sebenarnya tidak kompeten tetapi menilai dirinya lebih superior atau di atas rata-rata orang lain.Â
Mereka tidak tahu kalau mereka tidak tahu. Sehingga judgement terhadap suatu persoalan, diungkapkan dengan begitu meyakinkan tetapi pada dasarnya lemah dan juga bukan sesuatu yang benar.
Ketidaktahuan kalau dirinya tidak tahu, itu bisa dikarenakan lemahnya metakognisi seseorang, sehingga nalar tidak mampu untuk membangun logika yang benar. Ketidaksadaran akan sejauh mana pengetahuan yang dipunyai inilah yang kemudian memberikan efek berisik, noise pada dunia sosial media, media cetak atau elektronik lainnya.
Lemahnya kemampuan metkognisi seseorang, salah satunya mempunyai efek tingkat overconfidence yang tinggi, bahwa dia mengetahui suatu hal melebih tingkat rata-rata orang lain. Dunning-Kruger effect ini tidak saja terjadi pada mereka yang mempunya kapasitas intelektual atau pendidikan yang rendah, tetapi juga pada mereka yang mempunyai kapasitas intelektual atau background pendidikan yang tinggi.
Sebagai contoh baru-baru ini, netizen beramai-ramai mencibir masalah pohon plastik yang dianggap pemborosan dana APBD. Bahkan penghakiman dilakukan terhadap Pemda, sebagai orang yang tidak kompeten dan tidak sadar manfaat, karena memasang pohon plastik sebagai hiasan lampu. Kata-kata cibiran datang dari banyak kalangan baik berpendidikan tinggi maupun rendah.Â
Namun ketika fakta diungkapkan kemudian, bahwa semua tidak benar, maka suara-suara itu langsung redup. Respons sok tahu tapi sebenarnya tidak tahu ini seringkali berulang untuk isu-isu lainnya.
Mereka sulit memahami apa yang menjadi realitas dan apa yang menjadi imajinasi mereka sendiri. Kenyataannya, kita lebih sering menggunakan imajinasi yang keliru dalam menghakimi sesuatu.
Imajinasi sesungguhnya bisa dibangun untuk mengarah atau mendekati nilai-nilai objektivitas tetapi juga bisa dibangun untuk memfasilitasi nilai-nilai subjektifitas kita. Yang terakhir inilah yang lebih banyak menimbulkan masalah pada cara kita menilai sesuatu.