"Satu lagi Fil, sampean tak kasih tahu kenapa Tuhan menurunkan agama kepada manusia. Yang diperlukan Tuhan bagi orang-orang yang memeluk agama adalah ditegakanya nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, agama diturunkan oleh Tuhan adalah untuk manusia, bukan untuk Tuhan sendiri."
Pandangan Gus Dur bagiku selalu melampaui peradaban, ia berpikir jauh dan bijaksana dalam setiap ucapannya, meski terkadang nyeleneh. Ya, seperti itulah Gus Dur.
"Jadi, Tuhan tidak perlu dibela, Gus? Terus bagaimana dengan orang-orang yang selalu mengatasnamakan Tuhan, padahal mereka hanya meraih keuntungan pribadi bahkan kelompoknya, Gus?"
"Ya sampean ubah. Toh, tugas generasi selanjutnya memang seperti itu, merubah dan meneruskan peradaban dengan lebih baik lagi. Indonesia itu bangsa yang besar. Tak kalah besar dengan pemikirannya!"
"Saya enggak yakin, Gus. Saya selalu bimbang di tengah jalan, belum lagi saya bukan siapa-siapa."
"Selagi kulitmu masih sawo matang, akhir logatmu masih berkata euy, berarti sampean adalah anak bangsa yang berasal dari tanah Jawa, dan identitasmu adalah orang Sunda. Selagi sampean memiliki niat untuk melakukan perubahan, ya ubahlah! Kalau  sampean ingin melakukan perubahan, jangan tunduk terhadap kenyataan yang ada! Asalkan sampean yakin di jalan yang benar, lanjutkan!"
"Iya, Gus. Saya pingin kayak sampean, pinter dan terus bisa jadi presiden. Tapi saya suka nyesel, Gus! Skripsi enggak beres-beres! Dan kenapa nasib saya selalu seperti ini, pinter engga, bodo iya."
"Fil, menyesali nasib itu tidak akan pernah merubah keadaan! Terus berkarya dan bekerjalah! Itu yang akan membuat kita tetap berharga! Jangan putus asa, gitu aja kok repot!"
"Baik, Gus. Terima kasih! Nasihat dan humormu pasti akan saya contoh di kemudian hari."
Pada tanggal 30, Gus Dur berpulang, dan aku pun terbangun dari mimpi. Masih terngiang kala beliau berkata, "Bangunlah, Fil, lanjutkan hidupmu, bukan mimpimu!".
(Semoga beliau diterima iman dan Islamnya, Al-fatihah.)