Mohon tunggu...
Rudi Haryono
Rudi Haryono Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Muhammadiyah Bogor Raya (UMBARA) - Mahasiswa S3 Linguistik Terapan Bahasa Inggris Unika Atma Jaya Jakarta

Educator, Sociopreneur, Youth Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Puasa: Menakar Kebutuhan Spiritual dan Biologis

7 April 2022   13:11 Diperbarui: 7 April 2022   13:14 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Ilustrasi. FOTO/iStockphoto

Puasa: Sebuah Muhasabah  Antara Kebutuhan Spiritual (Akherat ) dan Biologis (Dunia) 

Sebagaimana diketahui bersama bahwa di bulan Ramadhan Allah swt melipatgandakan pahala dalam beribadah baik ibadah wajib atau pun sunnah. Hal tersebut Allah berikan untuk menstimulasi manusia untuk lebih meningkatkan kualitas, intensitas dan bobot beribadah kepada Allah swt. 

Namun demikian respon atau implementasi atas stimulasi dari Allah swt tersebut kembali kepada sejauh mana keimanan manusia dalam merespon panggilan atau ajakan Tuhannya. Manusia adalah makhluk spiritual dan biologis. Manusia juga adalah mahluk psikologis. 

Sebagai mahluk spiritual dimaknai bahwa manusia memiliki kecenderungan atau potensi untuk patuh dan mendekat kepada Tuhannya dengan melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala larangannya. 

Sebagai mahluk biologis manusia adalah mahluk yang "sama" dengan mahluk hidup (hewan) ciptaan Allah swt lainnya secara karakteristik mahluk hidup makan, minum, dan memiliki indera lainnya. 

Manusia sebagai mahluk psikologis maksudnya manusia adalah mahluk yang memiliki potensi kejiwaan yang memiliki dorongan-dorongan dari dalam diri  (drive) atau insting yang abstrak yang melahirkan berbagai macam penampakan perilaku dalam kehidupan atau realitasnya. 

Perasaan senang, sedih, marah, kecewa, bahagia dan lainnya adalah karakteristik emosi kejiwaan yang manusiawi dan terdapat pada semua manusia yang normal.

Hakikatnya, sejak dilahirkan ke alam dunia dan berpisah dari alam janin, manusia terus melakukan aktifitas untuk bertahan hidup (survive) secara biologis dan non-biologis. Manusia terus berupaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan  (needs) yang menjadi aspek pendukung eksistensi kehidupannya. 

Namun demikian, Dossey (2005) dalam Mailani (2015) menyatakan bahwa hubungan manusia dengan sang pencipta (Tuhan) merupakan elemen pertama dari spiritualitas. Sebagai mahluk ciptaan Tuhan sejatinya kebutuhan spiritual memang berada pada level tertinggi. Kebutuhan spiritual adalah puncak tertinggi kebutuhan yang harus manusia terus jadikan pijakan dalam kehidupan dan realitasnya. 

Dalam konteks ibadah puasa Ramadhan, fenomena "tarik-menarik kebutuhan" spiritual dan biologis itu dapat dikomparasikan. Fenomena masjid yang masih sepi jamaah di waktu shalat lima waktu dan sama saja dengan bulan di luar Ramadhan, tradisi tadarrus yang belum massif dan "meriah" di mesjid, "kemalasan" pribadi untuk melakukan amalan-amalan sunnah, membaca al Quran barang sejenak daripada menonton TV atau berasyik ria dengan handphone dan media sosial, aktifitas berdzikir lisan atau bahkan pikiran yang belum stay tuned di beberapa waktu yang dianjurkan. Sementara di satu sisi kebutuhan biologis (sandang, pangan dan papan) begitu terasa dan seakan darurat (emergency). 

Fenomena sosial "ngabuburit" yang lebih ramai dan meriah dalam rangka mempersiapkan berbuka puasa yang terkadang juga mengumbar permisfisme berpakaian dan berkata serta berperilaku di jalan raya.

Dunia Yang Tak Pernah Memuaskan

Dunia memang tak pernah dapat menghilangkan dahag. Dunia pula tak pernah dapat memenuhi kepuasan, kecuali ketika mulut sudah berada disumpal tanah kuburan atau jasad yang mati. 

Dunia yang sementara habis-habisan dikejar dan dimimpikan sementara akherat yang kekal abadi dikesampingkan. Begitulah fenomena yang sesuai dengan firman Allah swt, ""Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)." (QS. Ar-Ra'du [13]: 26). 

Manusia banyak yang merasa cukup dengan kebutuhan dunia yang bersifat biologis dan malas tidak mau berjuang akan kebutuhan spiritual,terasa begitu berat untuk beribadah. Inti dari semuanya berpulang kepada kemampuan mengendalikan nafsu. ya, nafsu memang selalu berpotensi mengarahkan untuk berbuat kepada keburukan. 

Seburuk dan seberat apapun resiko yang harus ditanggung akibat dari melampiaskan nafsu seringkali manusia "tidak berdaya" dan menuruti hawa nafsunya, dan penyesalan yang berulang-ulang terus tanpa diiringi dengan taubat.

Berpuasa tapi meninggalkan shalat, berpuasa tapi sebatas berpuasa lahiriyah, berpuasa tapi rapuh amalan ruhaniyahnya, berpuasa tapi tidak bisa merasakan nikmatnya berdoa dan beribadah, berpuasa tapi tidak mampu membaca satu ayat pun dari al Quran, membacanya lembar per lembar. Begitu berat, karena nafsu yang menyelimuti. 

Mari kita banyak berdoa semoga kita senantiasa dapat mengendalikan nafsu kita.  Memohon kepada Allah swt diberikan kekuatan untuk beribadah dan istiqomah dalam beribadah. Apapun status sosial kita saat ini, sesehat apapun, sekuat apapun, sekaya apapun, secantik apapun, setampan apapun. Semua ada  batasnya, tidak ada yang mutlak atau absolut. 

Semuanya dibatasi oleh ruang dan waktu atas posisi kita sebagai mahluk Tuhan.  Dengan berpuasa semoga kita terus dapat mengendalikan nafsu hewaniyah. Nafsu yang terus meronta akan kebutuhan biologis dunia dan lupa akan nafsu  yang mengarahkan kepada kedekatan kepada Tuhan-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun