Gunung Puntang merupakan kawasan wana wisata Bumi Perkemahan yang berada di Desa Pasirmulya, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Tempat wisata ini tergolong eksotis, karena udaranya yang sejuk, masih banyaknya pepohonan, sungai-sungai yang airnya jernih, bebatuan, dan satwa langka yang dilindungi (Oa Jawa), serta berbagai fasilitas seperti sarana camping, musala, toilet, jembatan, dan warung. Semua itu menjadi sebuah daya tarik bagi wisatawan lokal maupun luar daerah, termasuk wisatawan manca negara.
Selain itu, Gunung Puntang bukan saja menyajikan pesona alamnya yang sejuk dan asri, tetapi sudah menjadi catatan sejarah Dunia yang melegenda sejak beberapa abad yang lalu. Hal ini terbukti dengan adanya jejak peninggalan Belanda, yaitu berupa puing-puing bangunan pada masa itu.
Sejarah Keberadaan Gunung Puntang
Pada abad ke enam belas, tepatnya di tahun 1595, Linscosten berhasil menemukan beberapa tempat di Pulau Jawa yang bebas dari kekuasaan Portugis. Tempat tersebut banyak terdapat rempah-rempah yang bisa diperjualbelikan diperdagangan Internasional.
Tidak lama setelah Linscosten menginjakan kakinya di Indonesia, empat buah kapal dagang dari Belanda tiba di bawah pimpinan Cornelis de Houtmen. Kedatangannya ke nusantara tidak lain untuk menguasai Pulau Jawa. Terbukti usaha mereka berhasil dan kekuasaannya merambah ke beberapa daerah, termasuk Bandung Selatan. Mereka berhasil menguasai wilayah Gunung Malabar dan Gunung Puntang, serta gunung-gunung disekitarnya. Kemudian menjadikan Gunung Puntang sebagai pusat penyabaran Informasi pemerintahan Hindia Belanda melalui sinyal nirkabel yang buatnya. Tidak banyak diketahui oleh para ahli sejarah, bahwa ini merupakan jaringan nirkabel pertama di dunia yang dapat menjangkau antar benua, dari indonesia ke Belanda dengan jarak jangkau lebih dari 12 ribu kilometer pada masa itu.
Perlu kita ketahui bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Gunung Puntang dijadikan sebagai pusat penyebaran Informasi. Hal ini ditandai dengan didirikannya stasiun pemancar radio terbesar Se-Asia yang didirikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1917. Tujuannya adalah untuk memperlancar informasi perkembangan Indonesia sebagai negara jajahan, yang biasa mereka sebut dengan julukan Nederland Indies.
Pembangunan Radio ini dibuat dan dipimpin oleh seorang teknisi Belanda bernama Cornelius Johannes de Groot. Dengan mengunakan alat yang dilengkapi pemancar buatan Jerman, Prof.Dr.Ir Cornelius Johannes dee Groot berhasil memelopori dan memimpin, serta merampungkan seluruh pembangunannya. Kemudian stasiun radio tersebut diresmikan oleh Dirk Fork pada 5 Mei 1923.
”Dengan panjang 2 kilometer, membentang di antara Gunung Halimun dan Gunung Malabar dengan ketinggian 500 meter dari dasar lembah, 1.200 meter diatas permukaan laut. Stasiun ini menggunakan sinyal yang dipancarkan antene untuk digunakan berkomunikasi langsung ke Belanda dengan jarak jangkauan 1.200 ribu kilometer lebih. Dalam pengunaan radio ini, murni sebagai pemancar. Wilayah Padalarang berjarak 15 Km dan wilayah Rancaekek yang berjarak 18 Km sebagai penerimanya. Memang cukup boros energi. Agar tetap bisa digunakan, Belanda kemudian membangun pembangkit listriknya,” papar Cecep Mulyadi (50) - salah seorang pertugas perhutani warga kampung Palalangon, Desa Campaka Mulya, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung.
Mulyadi menambahkan, saat itu Belanda membangun tiga pembangkit listrik di tiga wilayah. Pertama, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Pangalengan, lengkap dengan pendistribusiannya. Kedua, disebelah Utara Kota Bandung (daerah Dago), juga dibangun PLTA. Lalu yang ketiga, mengunakan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di daerah Dayehkolot.
“Memang cukup boros dan membutuhkan banyak tenaga Lisrik,” tutur Mulyadi, sambil meneguk air kopi yang sudah tersedia di meja kantornya - Sekretariat Perhutani di kawasan Wana Wisata Gunung Puntang.
Kawasan Gunung Puntang juga terdapat bekas rumah dinas para teknisi yang berjumlah 10 buah. Masyarakat di sekitar mengenalnya dengan sebutan Gedong Sepuluh. Namun sayang sekali keberadaan radio yang mendunia ini, sekarang tinggal sejarah. Hanya terlihat sisa puing-puing bangunan yang banyak menyimpan cerita, karena dulu pada masa Bandung Lautan Api, bangunan radio terbesar se-Asia ini dihancurkan sendiri oleh Belanda dan sabotase dari para pejuang Indonesia pada tahun 1946.
“Semua itu dilakukan agar radio tersebut tidak digunakan oleh Pemerintahan Jepang. Semua bangunan dilokasi tersebut hancur, termasuk bangunan Gedung Sepuluh yang hancur lebur. Sekarang lokasi Gedong Sepuluh tersebut menjadi tempat lokasi Favorit untuk camping, tepatnya yang berada di Blok B1 sampai Blok B5,” ujar Mulyadi dengan nada penuh semangat.
Kolam Cinta
Tepat di depan bangunan eks pemancar radio Belanda tersebut juga terdapat sebuah kolam yang melegenda. Konon ada mitos yang diyakinin warga, kalau ada pasangan kekasih yang berenang atau mencuci muka di sana, maka pasangan ini akan bertemu jodoh dan sampai melangsungkan pernikahan.
”Dulu kolam ini, menjadi tempat favorit para meneer serta noni Belanda untuk berenang. Tepat di depan kantor pemancar Radio dibangun kolam yang membentuk hati, sehingga sering disebut kolam Cinta.” Tutur Mulyadi menjelaskan.
Kolam cinta tersebut kini masih bisa dinikmati masyarakat yang berwisata ke sana, walau keadaannya sudah rusak dan tidak terawat. Sungguh memperihatinkan dan perlu perhatian serius dari pemerintah, khususnya bagian sejarah dan pariwisata.
Gedong Sabahu
Sisa puing-puing bangunan yang terdapat di Gunung Puntang, bukan hanya kolam cinta. Ada juga bekas rumah dinas para meneer - yang menjadi petugas menjalankan pemancar Radio, dan namanya masih terpampang jelas dibekas rumah dinas tersebut. Seperti rumah Mr. Han Key, Mr Nelan, Mr. Vallaken, Mr. Bickman, Mr. Hodskey, dan Ir. Keh Kong yang hancur akibat serangan tentara Jepang. Sekarang lokasi komplek tersebut dijadikan tempat untuk main perang-perangan oleh pecinta olehraga paintball.
Gua Belanda
Selain radio dan kolam Cinta, masih terdapat sisa sejarah lainnya. Tidak jauh dari bekas komplek rumah dinas terdapat sebuah gua dengan panjang 200 meter. Gua tersebut biasa disebut oleh warga dan para pengunjung dengan sebutan “Gua Belanda”.
“Gua ini dulunya digunakan untuk menyimpan senjata, peralatan, dan barang, karena pada saat itu daerah Gunung Puntang menjadi daerah serangan tentara Jepang. Termasuk semua bangunan diluluhlantakkan dengan menyisakan puing-puing yang berserakan” pungkas Cecep Mulyadi
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H