Mohon tunggu...
Masrudi Ahmad Sukaepa
Masrudi Ahmad Sukaepa Mohon Tunggu... -

Lahir 120875, dari rahim Ibu tercinta Singara (dalam bahasa bugis artinya; pagi-pagi)dan Ayah yang bijak Ahmad Sukaepa, seorang petani, berdiam di sebuah kabupaten ujung sulsel berbatasan sulbar. Alhamdulillah... telah dikarunai; Akbar,Ainun,Angga si buah hati dari istri tercinta Andi Naimmi masrurah. Menjelajah dibelantara kata-kata adalah petualangan untuk mengasah pisau analisis, struktur berpikir, daya kritik dan inspirasi...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pungli Pengurusan SIM, apa tergolong mafia hukum?,,,

21 Januari 2010   04:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekitar bulan oktober 2009 yang lalu saya mengurus Surat Izin Mengendarai (SIM) gol.C di salah satu polres di tanah air.

sekitar jam sebelas siang, saya ke polres untuk mengurus SIM, sesampai disana saya langsung ke loket dan bertanya, pak biaya pengurusan SIM berapa yah?,, dua ratus ribu pak, tapi sekarang kertas SIM-nya habis (karena banyaknya orang mengurus menyusul adanya aturan baru) jadi kalau mengurus sekarang sekitar semingguan baru bisa diambil, kata petugas.

Setelah itu saya duduk depan loket sambil antri, tanpa sengaja saya melihat tulisan;

biaya pengurusan SIM :

SIM C  : - Pengurusan SIM C Rp 75.000,-       - Untuk perpanjangan  Rp.60.000,- (untuk SIM Gol.lain sudah lupa rinciannya).

Saya mulai bertanya dalam hati, knp bisa?,,,  tadi petugas bilang dua ratus ribu, sedangkan panflet yang terpasang di dinding depan loket hanya enam puluh ribu, mana yang benar?,,, begitu sampai giliran saya dipanggil bukannya dibayar depan loket tapi dipanggil masuk, sampai didalam saya bertanya lagi, berapa pak?,, dua ratus ribu,, kata petugasnya. saya tidak protes langsung keluarkan dompet dan ambil uang lalu membayar. saya kesal setelah disodorkan kuitansi kosong untuk ditanda tangani, lho pak kok kuitansi kosong?,,, memang begitu pak, jawab petugas menimpali. tidak bisa dong pak, mestinya ada dicantumkan, kata saya dengan nada tinggi,, memang begitu pak, atau bapak mau ikuti prosedur?,,, (maksudnya; harus di tets mengendarai), saya diam saja,  dasar.. lagi butuh dan pikir saya daripada kelamaan yah gak apa-apa saya tidak mau susah langsung tanda tangan,, sudah pak, bapak ke ruang sebelah tunggu panggilan foto,,, kata petugas. tapi sebelum beranjak saya bertanya dengan nada protes, pak mana bukti pembayarannya?,, tidak ada pak memang begitu, kata petugas lagi... lho orang membayar tidak dikasi bukti, tidak benar ini... sambil berlalu saya menuju ruang sebelah untuk foto.

Pada saat antrian petugas foto memberitahu salah seorang calon pemilik SIM yang sedang antri; setelah foto nanti bapak ke klinik untuk periksa golongan darah karena SIM tidak bisa keluar sebelum ada bukti pemeriksaan,,. mendengar pemberitahuan itu saya tanya; pak saya sudah punya kartu golongan darah, apa saya juga harus periksa lagi?,,, wah saya tidak tahu pak, bapak tanya di klinik saja,,, jawab petugas dengan nada bingung.

Setelah foto langsung ke klinik yang berada di belakang polres. begitu sampai saya tanya suster jaga (yang memang bertugas untuk periksa golongan darah) ; Sus, saya punya kartu golongan darah, apa masih perlu periksa?,,, tidak tahu pak, tanya dokter saja, tapi dokternya belum datang jadi bapak menunggu,,, kata suster yang jaga. sekitar dua jam kemudian saya masuk ke ruangan dokter.. dok, golongan darah saya A dan ada kartunya, apa masih harus periksa?,,, dokternya balik bertanya; bapak baru mengurus atau perpanjangan?,, baru dok, jawabku. yah sudah,, bapak silahkan ke depan (maksudnya tempat suster tadi), kata dokter. awalnya sempat juga berpikir mau langsung ke polres saja (karena merasa dikadalin jadi mau juga mengadalin)  tapi karena harus ambil bukti pemeriksaan jadinya ke tempat suster jaga itu,,, sampai disana,, susternya langsung bilang, tiga puluh ribu pak!,, lagi-lagi tidak mau susah dan kelamaan saya menurut saja dan membayar tiga puluh ribu lalu dikasi bukti pemeriksaan dan kembali ke loket pengurusan SIM menyodorkan bukti pemeriksaan, karena kertas SIM habis jadi saya hanya dikasi surat keterangan untuk dijadikan SIM sementara.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan saya:

(1) biaya pengurusan SIM membengkak dari harga sebenarnya. (penulis)

(2) Adanya sistem (terselubung) yang sudah menggurita. (penulis)

(3) Calon pemilik SIM di suruh bayar tinggi dengan konvensasi kemudahan karena tidak menjalani test mengendara. tentu masyarakat terima saja, disamping tidak mau susah terbayang juga tingginya denda kalau kena tilang. Tetapi dengan praktek tersebut justru institusi mendapat dua keuntungan, yakni; selisih biaya dari yang sebenarnya (masih baik kalau masuk kas negara walaupun namanya tetap pungli) dan polantas tidak perlu repot-repot melakukan test terhadap calon pemilik SIM. (penulis)

(4) Adanya (akal-akalan) aturan yang saling menguntungkan antara institusi dan klinik itu yang  ternyata klinik itu adalah milik polres sendiri. (penulis)

Hal diatas (mungkin) juga terjadi di daerah lain, bahkan diantara pembaca juga pernah mengalaminya. memang maslah tersebut adalah hal yang sifatnya kecil, tetapi mesti dipahami bahwa, hal-hal yang kecil seperti itulah yang bisa meruntuhkan bangunan-bangunan penegakan hukum yang lebih besar. ibaratnya anai, kecil tetapi mampu merapuhkan kayu besar karena anai memakan kayu itu dengan cara yang tidak nampak karena menggerogoti dari dalam, akan kelihatan ketika kayu itu sudah benar-benar rapuh setelah isi dalamnya habis digerogoti. begitu pula dengan hal-hal kecil yang terjadi di institusi penegak hukum di negeri ini, dari luar kelihatan bagus, bersih, tetapi didalam ada aturan terselebung yang menggurita dan menggerogoti upaya-upaya penegakan hukum. apakah satgas mampu menjangkau hal-hal kecil seperti itu?,, apakah satgas hanya membersihkan masalah-masalah besar yang mudah mengangkat popularitas untuk pencitraan karena menjadi sorotan media pemberitaan seperti kasus Artalyta di Lapas pondok bambu?,, ataukah satgas hanya dibentuk untuk pemulihan citra setelah terjadinya kasus cicak dan buaya?,,, terkahir, apakah masalah diatas tidak tergolong mafia hukum?,,, (penulis)

Kurang lebih begitulah cerita teman yang mengalami hal di atas kepada saya kemarin waktu ketemu, dan saya men-deskripsi-kan dalam sebuah tulisan yang sederhana.

Salam Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun