John Rawls, seorang filsuf politik abad ke-20 yang terkenal dengan teori keadilan sosialnya, mengembangkan konsep yang dikenal sebagai "prinsip perbedaan" dalam bukunya yang sangat berpengaruh, A Theory of Justice (1971). Rawls mengajukan dua prinsip dasar untuk mencapai keadilan sosial. Prinsip pertama adalah bahwa setiap individu harus memiliki hak yang sama untuk kebebasan dasar yang luas, seperti kebebasan berbicara, kebebasan beragama, dan hak atas perlindungan hukum. Prinsip kedua, yang sangat relevan dalam konteks MBG, adalah prinsip perbedaan, yang menyatakan bahwa ketidaksetaraan sosial atau ekonomi hanya dapat dibenarkan jika ketidaksetaraan tersebut membawa manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak menguntungkan dalam masyarakat. Dalam praktiknya, ini berarti bahwa kebijakan publik harus memprioritaskan kesejahteraan kelompok yang paling terpinggirkan dan rentan, yang dalam kasus MBG adalah siswa-siswa dari keluarga miskin atau mereka yang menghadapi kekurangan gizi.
Rawls berpendapat bahwa ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika hal itu membantu memperbaiki kondisi mereka yang paling membutuhkan. Dalam hal ini, program MBG harus lebih memfokuskan sumber daya untuk memberikan makanan bergizi kepada siswa-siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu yang benar-benar mengalami kekurangan gizi, bukan kepada mereka yang sudah berasal dari keluarga sejahtera dan tidak memiliki masalah dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka. Dengan memprioritaskan mereka yang membutuhkan, Rawls percaya bahwa ketidakadilan yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi, dan kesejahteraan sosial secara keseluruhan akan meningkat. Dalam konteks ini, penerapan prinsip perbedaan akan mengarah pada pembagian sumber daya yang lebih efisien dan adil, sehingga memastikan bahwa anggaran negara digunakan untuk kepentingan yang lebih tepat sasaran.
Di sisi lain, Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno yang banyak membahas konsep keadilan dalam karyanya Nicomachean Ethics, memberikan pandangan yang sedikit berbeda, namun tetap sangat relevan dalam konteks keadilan distributif. Aristoteles memandang keadilan sebagai suatu bentuk distribusi yang adil berdasarkan proporsi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan individu. Bagi Aristoteles, keadilan distributif tidak berarti memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang, melainkan memberikan kepada setiap individu apa yang sesuai dengan hak mereka berdasarkan kontribusi atau kebutuhan mereka. Dalam pandangannya, keadilan dapat tercapai jika setiap orang menerima sesuatu sesuai dengan apa yang layak mereka terima berdasarkan kondisi mereka sendiri.
Dalam konteks MBG, prinsip keadilan Aristotelian ini menekankan pentingnya membedakan antara mereka yang membutuhkan bantuan dan mereka yang tidak. Memberikan makanan bergizi kepada siswa dari keluarga sejahtera yang sudah memiliki cukup gizi akan bertentangan dengan prinsip keadilan Aristoteles, karena hal ini tidak mencerminkan kebutuhan atau keadaan masing-masing individu. Aristoteles berpendapat bahwa keadilan menuntut pemberian sumber daya secara proporsional dengan kebutuhan, dan jika sumber daya tersebut diberikan tanpa mempertimbangkan perbedaan kebutuhan di antara individu, maka hal itu akan dianggap tidak adil. Dalam hal ini, prinsip Aristotelian mendukung ide bahwa program MBG seharusnya lebih selektif dan memprioritaskan mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan, seperti siswa dari keluarga miskin yang mengalami kekurangan gizi.
Dengan demikian, baik Rawls maupun Aristoteles memiliki pendekatan yang menekankan pentingnya memperhatikan perbedaan kondisi dan kebutuhan individu dalam penerapan kebijakan sosial. Rawls mendorong distribusi yang adil dengan memberi prioritas kepada mereka yang paling terpinggirkan, sementara Aristoteles menekankan keadilan dalam memberikan apa yang sesuai dengan proporsi kebutuhan masing-masing individu. Kedua perspektif ini relevan untuk program MBG, yang dalam implementasinya harus memperhatikan perbedaan sosial dan ekonomi di antara siswa. Kebijakan yang lebih selektif dan terfokus pada mereka yang paling membutuhkan, baik dari perspektif Rawls maupun Aristoteles, akan memastikan bahwa manfaat dari program ini dapat dirasakan oleh mereka yang benar-benar membutuhkan, sekaligus menghindari pemborosan anggaran yang dapat mengurangi efektivitas program secara keseluruhan.
Efisiensi Anggaran dan Manfaat Sosial
Salah satu tujuan utama dari setiap program sosial adalah memberikan manfaat yang maksimal dengan memanfaatkan sumber daya yang terbatas. Dalam konteks kebijakan publik, sumber daya tersebut sering kali terbatas, baik dari sisi anggaran negara maupun waktu yang tersedia untuk melaksanakan program tersebut. Oleh karena itu, efisiensi anggaran menjadi faktor krusial dalam merancang dan melaksanakan program-program sosial seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Program MBG bertujuan untuk meningkatkan kualitas gizi anak-anak Indonesia, namun jika anggaran negara yang dialokasikan untuk program ini tidak digunakan secara efisien, maka manfaat yang diinginkan mungkin tidak dapat tercapai secara optimal. Dalam hal ini, efisiensi anggaran tidak hanya berarti mengurangi pemborosan, tetapi juga memaksimalkan manfaat sosial yang dapat diterima oleh masyarakat.
Dengan membatasi distribusi MBG kepada kelompok yang benar-benar membutuhkan, yaitu siswa-siswa dari keluarga miskin yang mengalami kekurangan gizi, pemerintah dapat lebih optimal dalam menggunakan anggaran negara yang terbatas. Ketika anggaran negara difokuskan pada penerima manfaat yang membutuhkan, maka sumber daya yang tersedia dapat digunakan untuk mencapai dampak yang lebih besar. Jika, misalnya, anggaran digunakan untuk memberikan makanan bergizi kepada semua siswa tanpa memandang status ekonomi mereka, termasuk siswa dari keluarga sejahtera yang sudah memiliki gizi yang cukup, maka manfaat yang diberikan kepada mereka akan lebih kecil, sementara anggaran yang terbatas bisa habis tanpa memberikan dampak yang signifikan pada mereka yang benar-benar membutuhkan. Oleh karena itu, dengan mengarahkan sumber daya kepada kelompok yang lebih rentan, seperti anak-anak dari keluarga miskin, anggaran negara akan lebih tepat sasaran dan lebih efisien.
Efisiensi anggaran juga berkaitan erat dengan keberlanjutan program itu sendiri. Sebuah program sosial yang memiliki tujuan jangka panjang, seperti meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup masyarakat, memerlukan perencanaan yang matang, serta pemanfaatan anggaran yang bijaksana agar tetap dapat berjalan secara berkelanjutan. Anggaran yang lebih terfokus pada kelompok yang paling membutuhkan akan memungkinkan pemerintah untuk mengalokasikan dana secara efektif, yang pada gilirannya dapat mendukung keberlanjutan program tersebut. Ketika anggaran digunakan dengan bijak, pemerintah dapat lebih mudah mempertahankan program ini dalam jangka panjang, memperluas cakupan manfaatnya, dan mengalokasikan anggaran untuk sektor-sektor lain yang juga penting, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Program MBG yang tidak tepat sasaran dan mengarah pada pemborosan anggaran akan menghambat pencapaian tujuan jangka panjang, karena dana yang seharusnya dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup kelompok rentan justru akan terbuang pada penerima yang tidak membutuhkan.
Selain itu, pemborosan anggaran pada penerima manfaat yang tidak membutuhkan juga bisa merugikan sektor-sektor lain yang juga membutuhkan perhatian serius. Sumber daya publik yang terbatas memerlukan pemanfaatan yang sangat hati-hati. Misalnya, sektor pendidikan membutuhkan investasi yang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, sementara sektor kesehatan membutuhkan dana untuk memperbaiki layanan kesehatan, terutama untuk kelompok masyarakat yang kurang mampu. Oleh karena itu, memfokuskan anggaran MBG pada siswa dari keluarga miskin memungkinkan pemerintah untuk lebih mudah mencapainya tanpa harus mengorbankan sektor-sektor vital lainnya.
Lebih jauh lagi, program MBG yang tepat sasaran akan memberikan dampak sosial yang lebih besar, khususnya bagi anak-anak dari keluarga miskin yang kekurangan gizi. Asupan gizi yang memadai sangat penting bagi tumbuh kembang anak, baik dalam aspek fisik maupun mental. Anak-anak yang menerima makanan bergizi akan memiliki kekuatan fisik yang lebih baik, sistem kekebalan tubuh yang lebih kuat, dan kemampuan belajar yang lebih optimal. Makanan bergizi juga dapat membantu meningkatkan konsentrasi dan daya ingat anak, yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi mereka di sekolah. Dengan demikian, melalui MBG yang efisien, anak-anak yang berada dalam kondisi rentan dapat mengalami perubahan signifikan dalam hal kualitas hidup mereka, yang akan berdampak langsung pada kesehatan mereka serta kemampuan mereka untuk belajar dan berprestasi di masa depan.