Nuraninya, yang dulu menjadi petunjuk yang menuntunnya ke jalan kebenaran, kini menjadi hakim yang tak dapat dihindari. Setiap bisikan itu semakin keras, semakin menggaung, seolah ia harus membayar harga yang tak terhingga atas pengkhianatannya pada prinsip-prinsip yang ia pegang dahulu. Ketika sinar ilahi datang, bukan lagi cahaya yang membimbing, tetapi api yang membakar, membakar setiap sisa harapan yang tersisa dalam jiwanya. Ia merasakan penderitaan yang tak terlukiskan, seolah tubuhnya dibakar hidup-hidup oleh keadilan yang tak mampu ia hindari. Hukum, yang seharusnya menjadi landasan, kini menjadi rantai yang membelenggunya, mengikatnya pada masa lalu yang kelam. Sang Pengadil kini tak lagi memegang palu, hanya memeluk kesendirian yang semakin dalam.
Jubah hitam yang ia kenakan, simbol kehormatan dan kewibawaan, kini berubah menjadi bayangan yang menakutkan, momok yang menghantui setiap langkahnya. Ia duduk di kursi pesakitan, tidak lagi sebagai pengadil, tetapi sebagai terdakwa yang terperangkap dalam dosa-dosa yang tak terhapuskan. Wajahnya tampak pucat, tak mampu menghadap ke cermin yang memantulkan dirinya yang sudah rusak. Rasa penyesalan itu merayap perlahan, memenuhi setiap celah yang ada dalam dirinya. Ia tahu bahwa tak ada lagi yang bisa mengembalikan apa yang telah hilang, tak ada lagi yang bisa menghapus jejak-jejak hitam yang ia tinggalkan. Seolah-olah waktu telah menjadi musuhnya, membawa segala kenangan yang dulu ia abaikan, dan kini ia harus membayar semuanya.
Kini, Sang Pengadil hidup di balik jeruji besi, jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Seluruh dunia yang ia perjuangkan kini terasa seperti ilusi, sebuah mimpi yang hancur seiring berjalannya waktu. Dalam keheningan selnya, ia merasakan kesepian yang mencekam, bukan hanya karena terpenjara fisiknya, tetapi karena terpenjara oleh dosa-dosa yang terus menghantuinya. Ia mengenang hari-hari ketika ia masih memegang palu yang tidak rapuh, ketika setiap ketukan adalah simbol kebebaran dan keadilan. Namun kini, ia hanya bisa meratap, tak mampu mengubah kenyataan yang telah menimpanya. Setiap napas yang ia hirup kini terasa begitu berat, seolah setiap udara yang ia ambil adalah saksi dari pengkhianatannya terhadap hukum dan terhadap dirinya sendiri.
Penyesalan itu datang begitu dalam, meresap ke dalam tulang dan dagingnya, tak terlepaskan. Sang Pengadil, yang dulu menganggap dirinya sebagai penjaga kebenaran, kini menjadi bayangan dari apa yang ia hindari. Hukum yang dulu ia anggap sebagai sahabat kini menjadi penghisap kekuatan yang tersisa, membawanya ke lembah kehinaan yang dalam. Ia terperosok, tenggelam dalam lautan penyesalan yang tak pernah berujung. Jika saja ia bisa kembali ke masa lalu, jika saja ia bisa mengubah satu keputusan, satu ketukan palu yang keliru. Namun, tak ada jalan kembali. Kini ia hanya bisa meratap dalam kesunyian, terkurung dalam sel yang sempit, dengan bayang-bayang dosa yang terus mengejarnya.
Dalam penyesalannya yang mendalam Sang Pengadil teringat satu hal yaitu ia telah membiarkan palunya rapuh, seharusnya palu itu tidak boleh rapuh, seharusnya palu itu harus tetap kokoh, teguh dalam memikul tugas yang mulia. Namun, dalam perjalanan waktu, ia terlena oleh godaan kekuasaan, terbuai oleh janji-janji palsu yang mengaburkan pandangannya. Palu yang dulu ia anggap sebagai lambang kebenaran kini hanya serpihan logam yang patah, tak bisa lagi memukul dengan ketegasan yang seharusnya. Ia sadar, setiap ketukan yang terlewatkan, setiap kesempatan yang disia-siakan, telah meruntuhkan fondasi yang ia bangun dengan susah payah. Dalam keheningan selnya, ia merenung, merasakan betapa rapuhnya segala sesuatu yang dulu ia anggap kuat. Seharusnya, palu itu harus dijaga, dipelihara, dan digunakan dengan penuh kehati-hatian, agar tak jatuh menjadi beban yang menimpa dirinya sendiri. Namun, semuanya terlambat, dan kini ia harus membayar harga atas kebodohan yang telah ia pilih.
Akhirnya, sang pengadil sujud kepada sang Ilahi yang sinar-Nya selalu ia abaikan, menundukkan kepala dalam kesadaran penuh akan segala dosa yang telah ia perbuat. Dalam keheningan itu, ia memohon agar jangan lagi ada pengadil lain yang mengikuti jalannya, yang terlena oleh godaan duniawi dan mengabaikan suara nurani yang suci. Ia memohon agar tak ada lagi yang terjerumus ke dalam kegelapan seperti dirinya, yang kehilangan jalan menuju kebenaran. Dengan air mata yang membasahi tanah, ia berdoa agar para pengadil yang akan datang senantiasa menjaga agar palu di tangan selalu kokoh, selalu teguh dalam menegakkan keadilan yang sejati, tanpa rasa takut atau tunduk pada godaan yang merusak. Karena, hanya dengan menjaga palu yang tak rapuh itulah, keadilan bisa tetap hidup, dan kebenaran tak akan pernah mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H