Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Balada Sang Pengadil yang Membiarkan Palunya Rapuh

12 Januari 2025   15:49 Diperbarui: 12 Januari 2025   15:49 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Kompas.Com)

Balada Sang Pengadil yang Membiarkan Palunya Rapuh

Di ruang pengadilan yang dingin, di balik meja kayu yang tergores waktu, Sang Pengadil duduk dengan palu di tangan. Palu itu, yang dulunya berkilau dan penuh wibawa, kini tampak usang, seperti saksi bisu dari perjalanan hukum yang telah lama kehilangan arah. Setiap ketukan yang pernah menggetarkan hati kini hanya menggema di ruang kosong, menciptakan ruang bagi keraguan yang perlahan merasuki setiap sudut. Hukum, yang seharusnya tegak berdiri sebagai benteng keadilan, kini terperosok dalam lembah kompromi, terjepit antara kepentingan dan kebenaran yang terdistorsi.

Para pencari keadilan datang dengan harapan, namun banyak yang pulang dengan tangan hampa. Palu yang dulu menegakkan kebenaran kini berperan sebagai simbol kekalahan, ketidakmampuan untuk menegakkan apa yang seharusnya tak tergoyahkan. Integritas hukum, yang seharusnya menjadi pilar negara, kini rapuh, hampir runtuh, tertutup oleh kabut ambisi dan kepentingan pribadi. Dalam keheningan yang menyelimuti, Sang Pengadil menatap palunya dengan rasa cemas, menyadari bahwa setiap ketukan yang ia lakukan semakin jauh dari tujuan mulia yang pernah diimpikan.

Sang Pengadil duduk terdiam, matanya menerawang jauh, namun pikirannya terperangkap dalam lingkaran gelisah yang tak berujung. Palu di tangan kanan terasa lebih berat dari biasanya, seolah setiap ketukan yang akan dilakukannya adalah sebuah dosa yang semakin mendalam. Di hadapannya, ruang pengadilan yang hening itu menyimpan banyak wajah; sebagian berharap, sebagian lainnya putus asa. Semua mata tertuju padanya, namun hatinya justru semakin menjauh. Ia berusaha mengalahkan kebenaran, memaksakan logika yang salah menjadi suatu keharusan, namun suara batinnya yang semakin nyaring menuntut keadilan yang sebenarnya. Dalam kesunyian itu, ia merasakan sebuah tekanan yang luar biasa, seakan segala beban dunia menindih dirinya. Keringat dingin mengalir di dahi, bukan hanya karena suhu ruangan yang dingin, tetapi juga karena setiap keputusan yang diambilnya semakin jauh dari nurani yang dulu ia pegang teguh.

Rasa resah semakin menggerogoti hatinya. Apa yang dulu tampak jelas kini menjadi kabur, terdistorsi oleh berbagai kepentingan yang harus ia hadapi. Hukum yang ia junjung tinggi terasa semakin rapuh, terbuai oleh kepentingan yang tak lagi mencerminkan kebenaran. Ia teringat pada masa-masa awal ketika ia pertama kali mengenal palu itu, bagaimana ia merasa menjadi penjaga kebenaran, bagaimana setiap keputusan yang ia buat selalu berpijak pada prinsip moral yang kokoh. Namun kini, setiap ketukan palu seolah menggema di ruang kosong dalam dirinya, suara-suara di luar dirinya yang memaksa untuk mengubah apa yang benar menjadi salah. Hukum telah menjadi arena permainan, dan ia adalah bagian dari pertarungan itu. Sang Pengadil merasa terjebak dalam dilema moral yang tak terpecahkan, di mana kebenaran yang sesungguhnya kini berada di luar jangkauannya. Ia memaksa hitam menjadi putih, dan putih menjadi hitam, membiarkan dirinya dihantui oleh setiap keputusan yang harus ia buat.

Saat itu, nurani Sang Pengadil menjadi hakim yang tak terelakkan bagi dirinya, menuntutnya untuk menghadapi kebenaran yang coba ia kelabui. Seiring berjalannya waktu, sang pengadil semakin terperangkap dalam lingkaran kebohongan yang ia ciptakan. Dalam kesunyian ruang pengadilan, ia merasa seperti seekor burung yang terkurung dalam sangkar, berusaha terbang keluar namun tak mampu. Nurani itu berbisik, mengingatkan akan janji yang pernah ia buat untuk menegakkan keadilan, tetapi ia lebih memilih untuk diam, mencoba mengabaikan suara-suara itu. Setiap kali ia memaksakan kebenaran yang salah, hatinya semakin terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menghimpit jantungnya. Ketika sinar ilahi menyinari hatinya, ia tidak mampu menahan cahayanya, seolah ia merasa seperti terjebak dalam cahaya yang begitu terang, namun tak mampu melihat dengan jelas. Ia mulai merasa bahwa palu yang ada di tangannya bukan lagi simbol kekuasaan, tetapi justru beban yang tak bisa ia angkat lagi.

Keheningan yang menyelimuti ruang itu semakin mencekam. Sang Pengadil merasakan sinar ilahi yang selalu tertuju padanya, seperti sebuah sorotan yang mengungkapkan kegelapan hatinya. Ia merasa malu, bukan hanya karena ketidakmampuannya untuk menegakkan kebenaran, tetapi juga karena ia telah mengkhianati keyakinannya sendiri. Setiap kali ia mengambil keputusan yang memaksakan hukum pada posisi yang salah, setiap kali itu pula hatinya mengutuk dirinya. Palu yang dulu dia genggam dengan penuh keyakinan kini terasa seperti alat penghukum dirinya sendiri. Ia merasa dunia ini seperti berputar semakin cepat, dan ia terperangkap dalam lingkaran yang tak berujung. Tiap langkahnya menjadi penuh dengan kebingungannya, tak ada lagi jalan keluar yang terang.

Di luar sana, para pencari keadilan menanti dengan sabar, namun Sang Pengadil tak lagi mampu melihat mereka dengan jernih. Pandangannya kabur, terhalang oleh bayang-bayang dari keputusan-keputusan yang telah ia buat, yang kini terasa seolah racun yang perlahan merusak integritasnya. Seakan-akan setiap keputusan yang ia buat meninggalkan bekas, seperti goresan tak terhapuskan pada permukaan kaca yang dulu bening. Hukum seharusnya memberi jalan bagi keadilan, tetapi yang ada kini adalah jalan yang penuh dengan kotoran dan debu. Sang Pengadil merasakan ketidakadilan yang tumbuh dalam dirinya seperti bunga yang mekar di tanah yang tandus. Dalam keraguan yang melanda dirinya, ia semakin merasa bahwa palu yang ada di tangannya bukan lagi penentu nasib, tetapi pelaku dalam tragedi yang ia ciptakan sendiri.

Suara nurani semakin keras, dan di dalam hati Sang Pengadil, pertanyaan demi pertanyaan muncul. Apakah ini yang seharusnya ia perjuangkan? Apakah ini yang seharusnya ia bela? Setiap pertanyaan itu semakin membuatnya terjebak dalam kebingungan yang lebih dalam. Ia merasa seolah sedang menari dengan bayangannya sendiri, berputar-putar tanpa arah yang jelas. Hukum yang dahulu ia pandang sebagai sesuatu yang suci kini terasa ternodai oleh ketidakmampuan dan ketakutan akan kebenaran yang sebenarnya. Ia merasa kehilangan pegangan, dan dalam keheningan malam yang semakin larut, Sang Pengadil tidak tahu harus kemana lagi. Tidak ada lagi suara yang menguatkan selain bisikan hatinya yang semakin ragu. Hukum telah menjadi senjata yang membelenggunya, dan palu itu, meski di tangan Sang Pengadil, semakin terasa seperti sebuah beban yang tak bisa ia lepaskan.

Di tengah kebingungannya, Sang Pengadil mulai melihat bayang-bayang di sekelilingnya. Bayang-bayang itu tampak seolah menghakimi setiap langkahnya, mengingatkan padanya bahwa ia telah menempuh jalan yang salah. Ia tahu bahwa jalan ini tidak akan mengarah pada kebenaran, tetapi ia tak mampu untuk berbalik arah. Ketika ia memandang palu di tangannya, ia melihatnya bukan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, tetapi sebagai simbol dari segala kesalahan yang telah ia lakukan. Setiap ketukan yang ia lakukan mengingatkan padanya akan segala sesuatu yang telah ia abaikan, dan setiap keputusan yang ia ambil semakin membuat dirinya merasa semakin jauh dari jalan yang benar. Sinar ilahi yang menerpa dirinya semakin membuatnya merasa terjebak, seperti seekor ikan yang terperangkap dalam jaring yang tak bisa ia lepas.

Sang Pengadil semakin terperosok dalam kegelapan yang ia ciptakan sendiri. Palu di tangannya, yang dulu berkilau penuh wibawa, kini menjadi benda yang tak terpisahkan dari penderitaannya. Setiap ketukan yang seharusnya mewakili keadilan kini menjadi pukulan bagi nuraninya, yang semakin menjerit meminta pertanggungjawaban. Ia merasa semakin terperangkap dalam lingkaran kebohongan, seperti burung yang terperangkap dalam sangkar emas, meronta-ronta namun tak mampu melarikan diri. Tangan yang dulu menegakkan hukum kini terbalik, menghantam kepala sendiri, menghancurkan apa yang tersisa dari integritasnya. Palu itu kini bukan lagi simbol kekuasaan, tetapi alat yang menghancurkan dirinya sendiri, merobek daging hatinya yang sekarat oleh penyesalan.

Nuraninya, yang dulu menjadi petunjuk yang menuntunnya ke jalan kebenaran, kini menjadi hakim yang tak dapat dihindari. Setiap bisikan itu semakin keras, semakin menggaung, seolah ia harus membayar harga yang tak terhingga atas pengkhianatannya pada prinsip-prinsip yang ia pegang dahulu. Ketika sinar ilahi datang, bukan lagi cahaya yang membimbing, tetapi api yang membakar, membakar setiap sisa harapan yang tersisa dalam jiwanya. Ia merasakan penderitaan yang tak terlukiskan, seolah tubuhnya dibakar hidup-hidup oleh keadilan yang tak mampu ia hindari. Hukum, yang seharusnya menjadi landasan, kini menjadi rantai yang membelenggunya, mengikatnya pada masa lalu yang kelam. Sang Pengadil kini tak lagi memegang palu, hanya memeluk kesendirian yang semakin dalam.

Jubah hitam yang ia kenakan, simbol kehormatan dan kewibawaan, kini berubah menjadi bayangan yang menakutkan, momok yang menghantui setiap langkahnya. Ia duduk di kursi pesakitan, tidak lagi sebagai pengadil, tetapi sebagai terdakwa yang terperangkap dalam dosa-dosa yang tak terhapuskan. Wajahnya tampak pucat, tak mampu menghadap ke cermin yang memantulkan dirinya yang sudah rusak. Rasa penyesalan itu merayap perlahan, memenuhi setiap celah yang ada dalam dirinya. Ia tahu bahwa tak ada lagi yang bisa mengembalikan apa yang telah hilang, tak ada lagi yang bisa menghapus jejak-jejak hitam yang ia tinggalkan. Seolah-olah waktu telah menjadi musuhnya, membawa segala kenangan yang dulu ia abaikan, dan kini ia harus membayar semuanya.

Kini, Sang Pengadil hidup di balik jeruji besi, jauh dari dunia yang dulu ia kenal. Seluruh dunia yang ia perjuangkan kini terasa seperti ilusi, sebuah mimpi yang hancur seiring berjalannya waktu. Dalam keheningan selnya, ia merasakan kesepian yang mencekam, bukan hanya karena terpenjara fisiknya, tetapi karena terpenjara oleh dosa-dosa yang terus menghantuinya. Ia mengenang hari-hari ketika ia masih memegang palu yang tidak rapuh, ketika setiap ketukan adalah simbol kebebaran dan keadilan. Namun kini, ia hanya bisa meratap, tak mampu mengubah kenyataan yang telah menimpanya. Setiap napas yang ia hirup kini terasa begitu berat, seolah setiap udara yang ia ambil adalah saksi dari pengkhianatannya terhadap hukum dan terhadap dirinya sendiri.

Penyesalan itu datang begitu dalam, meresap ke dalam tulang dan dagingnya, tak terlepaskan. Sang Pengadil, yang dulu menganggap dirinya sebagai penjaga kebenaran, kini menjadi bayangan dari apa yang ia hindari. Hukum yang dulu ia anggap sebagai sahabat kini menjadi penghisap kekuatan yang tersisa, membawanya ke lembah kehinaan yang dalam. Ia terperosok, tenggelam dalam lautan penyesalan yang tak pernah berujung. Jika saja ia bisa kembali ke masa lalu, jika saja ia bisa mengubah satu keputusan, satu ketukan palu yang keliru. Namun, tak ada jalan kembali. Kini ia hanya bisa meratap dalam kesunyian, terkurung dalam sel yang sempit, dengan bayang-bayang dosa yang terus mengejarnya.

Dalam penyesalannya yang mendalam Sang Pengadil teringat satu hal yaitu ia telah membiarkan palunya rapuh, seharusnya palu itu tidak boleh rapuh, seharusnya palu itu harus tetap kokoh, teguh dalam memikul tugas yang mulia. Namun, dalam perjalanan waktu, ia terlena oleh godaan kekuasaan, terbuai oleh janji-janji palsu yang mengaburkan pandangannya. Palu yang dulu ia anggap sebagai lambang kebenaran kini hanya serpihan logam yang patah, tak bisa lagi memukul dengan ketegasan yang seharusnya. Ia sadar, setiap ketukan yang terlewatkan, setiap kesempatan yang disia-siakan, telah meruntuhkan fondasi yang ia bangun dengan susah payah. Dalam keheningan selnya, ia merenung, merasakan betapa rapuhnya segala sesuatu yang dulu ia anggap kuat. Seharusnya, palu itu harus dijaga, dipelihara, dan digunakan dengan penuh kehati-hatian, agar tak jatuh menjadi beban yang menimpa dirinya sendiri. Namun, semuanya terlambat, dan kini ia harus membayar harga atas kebodohan yang telah ia pilih.

Akhirnya, sang pengadil sujud kepada sang Ilahi yang sinar-Nya selalu ia abaikan, menundukkan kepala dalam kesadaran penuh akan segala dosa yang telah ia perbuat. Dalam keheningan itu, ia memohon agar jangan lagi ada pengadil lain yang mengikuti jalannya, yang terlena oleh godaan duniawi dan mengabaikan suara nurani yang suci. Ia memohon agar tak ada lagi yang terjerumus ke dalam kegelapan seperti dirinya, yang kehilangan jalan menuju kebenaran. Dengan air mata yang membasahi tanah, ia berdoa agar para pengadil yang akan datang senantiasa menjaga agar palu di tangan selalu kokoh, selalu teguh dalam menegakkan keadilan yang sejati, tanpa rasa takut atau tunduk pada godaan yang merusak. Karena, hanya dengan menjaga palu yang tak rapuh itulah, keadilan bisa tetap hidup, dan kebenaran tak akan pernah mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun